Orientalisme

Secara ringkas, bisa dikatakan, sebenarnya, telah berates tahun lalu, kaum Yahudi dan Nasrani di Barat telah melakukan pengkajian terhadap Islam, dengan tujuan untuk memahami seluk-beluk Islam dan kaum Muslim. Sejak lama mereka telah mengumpulkan kitab-kitab dan manuskrip karya ulama Islam, mendirikan pusat-pusat studi Islam di Negara-negara Barat. Dalam bukunya, Al Mustasyriquna wa al Tarikhul Islam, Prof. Dr. Ali Husny al Kharbuthly, Guru Besar di Universitas ‘Ain Syams, Mesir, mencatat, ada tiga tujuan kaum Orientalis dalam studi Islam, yaitu: (1) Untuk penyebaran agama Kristen ke negeri-negeri Islam, (2) Untuk kepentingan penjajahan, (3) Untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata (Hamka, Studi Islam, Pustaka Panjimas: Jakart, 1985 hal 12).

Sejak perang Salib berlangsung mulai tahun 1095, ada sebagian tokoh Kristen yang menilai Perang Salib merupakan cara yang tidak tepat untuk menaklukan kaum Muslim. Salah satu tokoh terkenal adalah Peter The Venerable atau Petrus Venerabilis (1094-1156 M). Peter adalah tokoh misionaris Kristen pertama di dunia Islam, yang merancang bagaimana menaklukan umat Islam dengan pemikiran, bukan dengan senjata. Ketika itu, ia seorang kepala Biara Cluny, Perancis-sebuah biara yang sangat berpengaruh di Eropa Abad Pertengahan.

Sekitar tahun 1141-1142, Peter mengunjungi Toledo, Spanyol. Di situ ia menghimpun sejumlah cendikiawan untuk menerjemahkan karya-karya kaum Muslim ke dalam bahasa Latin. Terjemahan itu akan digunakan sebagai bahan untuk misionaris Kristen terhadap dunia Islam. Salah satu sukses usaha Peter adalah terjemahan Al Qur’an dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton (selesai 1143), yang diberi judul “Liber Legis Saracenorum quem Alcorant Vocant” (Kitab Hukum Islam yang disebut Al Qur’an). Ini adalah terjemahan pertama al Qur’an dalam bahasa Latin, yang selama berates-ratus tahun menjadi rujukan kaum Kristen di Eropa dalam melihat Islam. Barulah pada tahun 1698, Ludovico Maracci, melakukan kritik terhadap terjemahan Robert of Ketton dan menerjemahkan al Qur’an sekali lagi ke dalam bahasa Latin dengan judul “Alcorani Textus Receptus”.

Menurut Peter Venerabilis, pengkajian Islam (Islamic Studies) perlu dilakukan oleh kaum Kristen, agar mereka dapat “membaptis pemikiran kaum Muslimin”. Jadi, kaum Muslim bukan saja perlu dikalahkan dengan ekspedisi militer, melainkan juga harus dikalahkan dalam pemikiran mereka. Di tengah berkecamuknya Perang Salib, Peter membuat pernyataan: “…aku menyerangmu, bukan bagaimana sebagian dari kami (orang-orang Kristen) sering melakukan, dengan senjata dengan kata-kata, bukan dengan kekuatan, namun dengan cinta..” (But I attack you not, as some of us often do, by arms, but by word; not by force, but by reason; not ini hatred, but in love…).

Petrus Venerabilis mengajak orang Islam ke jalan keselamatan Kristen dengan cara mengalahkan pemikiran Islam. Ia berangkat dari kepercayaan Kristen bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus). Islam, menurutnya, adalah sekte kafir terkutuk sekaligus berbahaya (execrable and noxious heresy), doktrin berbahaya (pestilential doctrine), ingkar (impious) dan sekte terlaknat (a damnable sect); dan Muhammad adalah orang jahat (an evil man).

Selain menugaskan para sarjana Kristen menerjemahkan naskah-naskah bahasa Arab ke dalam bahasa Latin, Peter juga menulis dua buku yang menyerang pemikiran Islam. Tentang Al Qur’an, Peter menyatakan Al Qur’an tidak terlepas dari para setan. Setan telah mempersiapkan Muhammad, orang yang paling nista, menjadi anti Kristus. Setan telah mengirim informan kepada Muhammad, yang memiliki kitab setan “diabolical scripture” (Riset yang serius tentang Peter Venerabilis ini bisa dibaca dalam buku Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al Qur’an, Penerbit GIP: Jakarta, 2005).

Strategi Peter Venerabilis ini kemudian menjadi rujukan kaum misionaris Kristen terhadap kaum Muslimin. Henry Martyn, tokoh misionaris berikutnya, juga membuat pernyataan, “Aku datang untuk menemui umat Islam, tidak dengan senjata tapi dalam kata-kata, tidak dengan kekuatan tapi dengan logika, tidak dalam benci tapi dalam cinta.” Hal senada dikatakan tokoh misionaris lain, Raymond Lull, “Saya melihat banyak ksatria pergi ke tanah suci, dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa diperoleh.” Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukan dengan darah dan air mata, tetapi dengan cinta kasih dan do’a.

Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M. Zwemmer, misionaris Kristen di Timur Tengah, dalam buku “Islam: A Challenge to Faith” (edisi pertama tahun 1907). Buku yang berisi resep untuk “menaklukkan” dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai “beberapa kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad dari sudut pandang missi Kristen”. Zwemmer menyebut bukunya sebagai “studies on the Mohammed religion and the needs and opportunities of the Mohammed World From the standpoint of Christian Missions”. Di akhir penjelasannya tentang Al Qur’an, Zwemmer mencatat: “In this respect the Koran is inferior to the sacred books of ancient Egypt, India, and China, thought, unlike them, it is monotheistic. It can not be compared with the Old or the New Testament.” (Dalam masalah ini, Al Qur’an adalah inferior dibandingkan dengan buku-buku suci Mesir Kuno, India, China. Meskipun, tidak seperti mereka, Al Qur’an adalam monoteistik. Ini tidak bisa dibandingkan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru)(Samuel M. Zwemmer, Islam: A Challenge to Faith. London: Darf Publisher Limited, 1985. Hal 91).

Strategi penaklukan Islam melalui pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh para orientalis Barat. Sebagian dari mereka memang membawa semangat lama kaum misionaris, sebagian lagi melakukannya untuk kepentingan penjajahan (kolonialisme) dan sebagian lagi bermotifkan semata-mata untuk kajian ilmiah. Kini setelah beratus-ratus tahun, kaum orientalis telah berhasil meraih sukses besar dalam bidang studi Islam. Bukan saja mereka berhasil mendirikan pusat-pusat studi Islam di Barat dan menerbitkan ribuan buku tentang Islam, tetapi mereka juga berhasil menghimpun literature-literatur Islam dalam jumlah yang sangat besar. Usaha-usaha mereka selama berabad-abad ini bisa dipahami, sebab Islam adalah satu-satunya agama yang tegas memberikan kritik-kritik yang mendasar terhadap basis kepercayaan Yahudi dan Nasrani. Hanya Al Qur’anlah, satu-satunya Kitab Suci yang memberikan kritik-kritik tajam dan mendasar terhadap dasar-dasar kepercayaan agama Yahudi dan Kristen (Prof. SMN Al Attas mencatat dalam buku terkenalnya, Islam and Secularism: “The confrontation between Western culture and civilization and Islam, from the historical religious and military levels, has now moved on to the intellectual level; and we must realize, then, that this confrontation is by nature a historically permanent one. Islam is seen by the West as posing a challenge to it’s very away of life; a challenge not only to Western Christianity, but also to Aristotelianism and epistemological and philosophical principles deriving from Graeco-Roman thought which forms the dominant component integrating the key element in dimensions of Western worldview.”Kuala Lumpur, ISTAC, 1993. Hal 105).

Di Indonesia, jejak-jejak orientalisme yang sangat gamblang bisa ditelusuri dari pemikiran-pemikiran para pengkaji Islam dari Belanda, seperti Snouck Hurgronje. Tahun 1911, Snouck Hurgronje menerbitkan bukunya “Nederland en de Islam”, yang berisi pemikiran dan strategi cara menghadapi Islam: (1) Dalam bidang yang murni agama, pemerintah dan pejabat-pejabatnya harus menjamin dan memilihara kebebasan mutlak, (2) Dalam bidang politik, kebebasan itu harus dibatasi “untuk kepentingan bersama”, (3) Dalam bidang hukum Islam, pemerintah harus menjauhi intervensi yang dipaksakan, sekalipun harus mendorong kea rah proses evolusi hukum sebanyak mungkin, (4) Garis-garis kebijaksanaan yang kurang lebih negative ini harus menuju ke arah tujuan yang positif, yaitu kemajuan orang-orang Islam yang harus dibebaskan dari beberapa “peninggalan ajaran abad pertengahan yang tidak berguna yang menyeret mereka hingga demikian lamanya” agar supaya dengan jalan ini-dengan perantaraan pendidikan dan pengajaran-dapat memperoleh kesempatan “asosiasi” cultural dengan kebudayaan Barat (dikutip dari: Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998. Hal 32).

Tahun 1938, misalnya, Mohammad Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: “Suara Azan dan Lonceng Gereja”. Natsir membuka tulisannya dengan untaian kalimat berikut:

“Sebaik-baik menentang musuh ialah dengan senjatanya sendiri! Qaedah ini dipegang benar oleh Zending dalam pekerjaannya menasranikan orang Islam. Tidak ada satu agama yang amt menyusahkan zending dan missi dalam pekerjaan mereka daripada agama Islam.”

Artikel Natsir ini mengomentari hasil Konfrensi Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938. Natsir sangat peduli dengan Konfrensi tersebut, yang antara lain menyorot secara tajam kondisi umat Islam Indonesia. Dr. Bakker, seorang pembicara dalam Konfrensi tersebut mengungkapkan kondisi umat Islam sebagaimana yang digambarkan dalam buku Prof. Dr. H. Kraemer, The Crhistian Message in a non-Christian World. Kata Dr. Bakker, “Orang Islam yang berada di bawah pemerintahan asing lebih konservatif memegang agama mereka dari negeri-negeri yang sudah merdeka.”

Dr. Bakker juga mengungkap tentang pengaruh pendidikan Barat terhadap umat Islam. Katanya, “Masih juga banyak orang Islam memegang agama mereka yang turun-temurun dari dulu itu, akan tetapi banyak pula yang sudah terlepas dari agama mereka, terutama lantaran pelajaran Barat yang katanya netral itu telah terampas dasar lain yang akan gantinya.”

Natsir sangat peduli akan pengaruh pendidikan Barat terhadap generasi muda. Ia menulis, bahwa ketika itu, sudah lazim dijumpai anak-anak Islam yang telah sampai ke sekolah-sekolah menengah yang belum pernah membaca Al Fatihah seumur hidupnya, atau susah payah belajar membaca syahadat menjelang dilangsungkannya akad nikah. Karena itulah, tulis Natsir, Prof. Snouck Hurgronje pernah menulis dalam bukunya, Nederland en de Islam, “Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari gengaman Islam).

Selanjutnya Dr. Bakker mengingatkan, bahwa kaum misionaris Kristen harus lebih serius dalam menjalankan aksinya di Indonesia, supaya di masa yang akan datang Indonesia tidak lebih susah dimasuki oleh misi Kristen.

Menanggapi rencana Misi Kristen di Indonesia tersebut, Natsir mengimbau umat Islam:

“Waktu sekaranglah kita harus memperlihatkan kegiatan dan kecakapan menyusun barisan perjuangan yang lebih rapi. Jawablah Wereldcongres dari Zending itu dengan congres Islam yang sepadan itu ruh dan semangatnya, untuk memperteguh benteng keislaman. Sebab tidak mustahil pula di negeri kita ini, suara azan bakal dikalahkan oleh lonceng gereja. Barang bathil yang tersusun rapi, akan mengalahkan barang haq yang centang-perenang (Artikel Natsir dimuat di Majalah Pandji Islam, No. 33-34, 1938; dikutip dari buku M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia. Penerbit CV. Bulan Sabit: Bandung, 1969).

Oleh: Adian Husaini, M.A. (Kandidat Doctor ISTACS IIUM Malaysia, Dosen Pasca Sarjana Pusat Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia)

0 komentar: