Islam dan Sentuhan Peradaban Lain?

Pengantar

Saat bulan Juni 2005 Rektor UI, UGM, UIN-UIN, ketua MPR berkunjung ke Moskow dan Leningrad. Suatu kehidupan dalam iklim yang berbeda dengan Timur Tengah membawa implikasi ritual yang khusus yang saat kenabian belum dikenal.

Hal itu menegaskan kembali bahwa tidak pernah ada di dunia ini suatu komunitas yang maju dan berkembang kecuali membuka diri bersentuhan dengan peradaban yang ada sembari berpijak pada kecerdasan local. Orientalis atau occidentalis lebih merupakan suatu cara bereksistensi mempertahankan diri, menguasai atau dikuasai.

Islam juga hadir dalam ruang budaya yang sudah mapan. Suatu masa Islam berhasil muncul ke permukaan di saat Columbus belum lahir. Romawi pun akhirnya mengakui kehadiran Islam tersebut mungkin seperti posisi terbalik sekarang yang dihadapi dunia Islam.

Tidak seluruh pengalaman dunia Islam berhasil mengatasi problemanya walaupun Islam menjanjikan kemenangan. Sama halnya tidak seluruh pengalaman negeri dan bangsa Barat tidak layak untuk dikaji dan dipelajari bagi kemajuan bangsa-bangsa Muslim itu sendiri. Banyak fakta di negeri Barat yang menurut Abduh lebih Islami daripada praktek Islam di kawasan Muslim.

Orientalis Vs Occidentalis

Orientalis paling popular di negeri ini ialah Snouck Hurgronje, penasehat Gubenur Jenderal Pemerintah HIndia Belanda, dengan Serambi Mekkahnya. Pada masa awal pemerintahan kolonial kita juga mengenal politik etis. System hukum dan pemerintahan negeri ini di awal kemerdekaan tidak lepas dari model kolonial, juga birokrasi dan bentuk Negara. Tapi di masa ini pula lahir elite nasional, lulusan Belanda yang berjuang bagi kemerdekaan negerinya.

Kita juga mengenal peneliti-peneliti Barat seperti: Clifford Geertz, Mark Woodward, Martin van Bruinessen, Karel Stenbrink, Karl D. Jackson, Bob Hefner, dengan hasil penelitian yang masih menjadi referensi utama pemahaman realitas sosial-politik negeri ini. sayangnya belum ada ilmuan pribumi yang hasil penelitian tentang negeri ini paling kurang sama populernya dengan orientalis. Dan, tidak ada ilmuan yang mencoba menjadi occidentalis dan meneliti tentang Barat dengan hasil yang lumayan.

Sementara model sekolah, rumah sakit, layanan sosial seperti panti Jompo, panti asuhan yatim piatu, merupakan hasil dari orientalis. System pemerintahan kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di negeri ini dengan system sosial-budaya termasuk pendidikan (pesantren) jarang dimengerti generasi yang masih hidup saat ini. jika ada buku tentang pesantren, system sosial-budaya local yang berkualitas, itu merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat tersebut di atas. Lebih tragis lagi kesadaran tentang kecerdasan atau kearifan local itu juga baru datang setelah kita membaca laporan peneliti Barat dengan hal serupa.

Kita memang memiliki khasanah peradaban luhur yang kaya. Demikian pula komunitas Muslim di berbagai belahan dunia. Namun, informasi tentang kekayaaan khasanah itu lebih mudah diakses di negeri-negeri Barat daripada di Timur Tengah. Apalagi jika dibandingkan dengan kepustakaan negeri ini.

Selalu muncul dua nilai yang tampak saling menegasi (positif-negatif) dari kerja ilmuan Barat, juga politisi Barat tersebut. Soalnya tergantung kemampuan kita untuk mandireng pribadi. Selebihnya juga tergantung seberapa kita memiliki kemampuan menyebarkan informasi tentang peradaban (Islam) yang menyakinkan akan kebagusan fungsionalnya. Dan, seberapa kita terus mengembangkan kemampuan tersebut. Pendidikan dalam negeri masih cendrung “obral” gelar bukan bagi pengembangan ilmu. Partai dan orsos keagamaan cendrung abai atas nasib umat (rakyat) dan lebih memikirkan kenyamanan elitenya sendiri. Karena itu, kini negeri ini mulai tersaingi negeri yang baru bebas perang dan stabil seperti Vietnam, apalagi dengan Malaysia, kita mulai belajar kepada mereka setelah tahun 1980-an mereka masih menimba ilmu dari negeri ini.

Islam dan Peradaban Luar

Islam, sebagaimana kita tahu, hadir dalam ruang sejarah pada abad ke-7 Masehi bukan dalam ruang hampa. Ketika itu peradaban dunia sudah penuh dengan ajaran Nasrani, Yahudi, Majusi, Zoroaster, Budha, Hindu dan agama local lainnya. Selain itu di dalam peradaban dunia juga telah dipenuhi berbagai system pengetahuan, system sosial-budaya dan politik yang terus berkembang hingga saat ini.

Di sisi lain, penerapan ajaran Islam ditentukan oleh kontruksi sosial-budaya penganut Islam dengan komunitasnya. Demikian pula bagaimana meneladani Muhammad SAW sebagai Rasul dan Nabiyallah. Ketika penduduk bumi sudah mencapai lebih 7 miliyar dengan teknologi transportasi supersonic dan maya, mengenal kurban via daging kaleng, da’I selebriti dengan ganjaran miliyaran rupiah, ada acara pildacil, nanti aka nada pildama (mahasiswa), dlsb. Tahun 1960-an, da’I yang menerima (bukan meminta) uang transport bisa dituduh menjual ayat-ayat Tuhan, kini sudah jamak hal ini dilakukan, termasuk transport khatib jum’at yang di Jakarta bisa beberapa ratus ribu rupiah. Apakah mereka juga dilabeli menjual ayat-ayat Tuhan? Bagaimana dengan royalty buku Kecerdasan Qur’ani?

Dalam sejarah kenabian, perintah-perintah melakukan tindakan yang sekarang kita kenal dengan syariah baru muncul pada pertengahan kenabian Muhamad SAW yaitu masa sesudah hijrah di tahun kesepuluh. Institusionalisasi dan rekonstruksi ajaran Islam yang kita kenal sekarang dengan tauhid (aqidah), syariah, kalam, fiqih, ibadah yang menjadi focus kajian IAIN (bukan UIN) baru dimulai setelah abad Nabi SAW itu wafat. Banyak penanda yang menunjukkan pengaruh pemikiran kalau bukan epistemology Yunani dalam rekonstruksi ajaran Islam, satu diantaranya ialah yang kita kenal dengan ilmu mantiq sebagai terjemahan organonnya Aristotele oleh AL Farabi.

Pentahapan dakwah Nabi seperti itu ketika beliau dikawal malaikat dan dipandu langsung oleh Allah. Soalnya ialah bagaimana dan pada posisi apa kita menempatkan diri dalam sirah nabawi tersebut.

Penutup

Perlu disadari bahwa Islam hadir di tengah kehadiran agama-agama besar sebelumnnya, yaitu Yahudi, Nasrani, Majusi, Zoroaster, Hindu dan Budha serta agama local lainnya. Islam sebaliknya menawarkan suatu system keberagaman melampaui semua jenis agama yang ada. Untuk Islam harus menyakinkan public bahwa yang ditawarkan Islam memang sesuatu yang baru yang lebih.

Islam ketika itu bukan dengan menyendiri tetapi dengan gagah tampil di belantara public dengan penuh percaya diri. Seperti halnya kolonialisme, selain nilai negative juga melahirkan tradisi baca dalam system pembelajaran “modern” yang antara lain membuat generasi belakangan mempunyai akses dalam kemoderenan. Orientalis atau occidentalis nilai positifnya tergantung pada siapa yang memanfaatkan peluang yang tersedia secara cerdas. Sama seperti ketika Muhammad (sang Nabi) hadir di tengah belantara keagamaan mondial lainnya di masa lalu.

Oleh: Prof. Dr. Abdul Munir Mulkan (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

1 komentar:

Anonim

15 Januari 2008 pukul 14.18

Membuka diri bukan berarti menelanjangi diri?
sbegau agama rahmat tentunya, Islam tidak akan perbah menutup diri karena pada dasrnya Islam adalah well come for all. dengan demikian ada semacam keterbukaan dalam realitas interaksi sosial kulturan dengan religi. Islam terbuak tetapi tidak pernah membuka sentuhan binal dari kultur sekuler dan atistis, dalam binkagi filsafat yang terjebak pendewaan akal tanpa ada bingkai iman.http://minangkabaunews.blogspot.com./http://padangnews.blogspot.com./http://islamintelek.blogspot.com./http://journalculture.blogspot.com./http://oasisilmu.blogspot.com./http://silautnews.blogspot.com