Feminisme pada Masyarakat Matrilineal Minangkabau

Pengantar

Membaca pemikiran Feminisme memang tidak mudah. Feminisme bukanlah pemikiran tunggal, tetapi terdiri dari berbagai macam pemikiran yang saling berbeda yang terpolarisasi aliran-aliran feminis. Feminisme radikal, misalnya, menganggap “penindasan terhadap perempuan ditandai oleh kuasa, dominasi, hirarki, dan kompetisi. Sistem patriarkhal tidak dapat dibentuk ulang, tetapi harus dicabut dari akar dan cabang-cabangnya. Bukan hanya struktur hukum dan politis partriarkhi saja yang harus dicabut untuk memberikan jalan bagi pembebasan perempuan. Lembaga sosial dan kultural juga dicabut dari akar-akarnya” (Tong, 1998; hal 3; ).

Meskipun masing-masing aliran feminis berbeda dalam menganalisis sebab dan solusi dari ketertindasan perempuan, penulis melihat ada persamaan dalam “semangat perlawanan terhadap dominasi laki-laki”.

Feminisme di Indonesia, masih “barang baru” (produk Barat) di Indonesia. Dalam pengantar terjemahan buku “Feminist Thought”, Aquarini Priyatna Prasmoro, seorang akademisi yang intens dengan pemikiran feminis di Indonesia, mengungkapkan kegelisahan yang menganggu pikirannya terkait tuduhan bahwa feminisme adalah Barat. “Pemikiran feminisme radikal seringkali dianggap tidak sesuai dengan ‘budaya timur’, karena perbincangan seksualitas bagi pemikiran Timur adalah tabu”. Menurut Aquarini, “adalah asumsi merendahkan bahwa perempuan Timur tidak mampu melihat ketimpangan yang muncul secara jelas di depan mata.” (Tong, 1998; hal xv).

Penulis termasuk orang yang sependapat dengan tesis “lokalitas harus kita perhatikan dalam melihat sebuah pemikiran”. Feminis liberal tidak bisa kita lepaskan dari konteks Eropa. Sedangkan feminisme mulkultural sangat erat dengan kondisi diskriminasi antara kulit hitam dan kulit putih di Amerika Serikat (Tong, 1998).

Terkait dengan perlawanan terhadap “patriakhal” dan “lokalitas” yang penulis sampai di atas, maka sangat menarik untuk melihat belahan dunia lain yang masih sedikit dilirik oleh para pemikir. Minangkabau, sebuah daerah di pulau Sumatera, yang sekarang identik dengan wilayah teritori Sumatera Barat, memiliki kultur budaya yang unik dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Minangkabau adalah salah satu masyarakat yang masih tetap memegang matrilineal (sistem kekerabatan menurut garis ibu). Para Antropolog mencatat saat ini, suku bangsa yang masih memegang sistem matrilineal, kurang dari 10 suku bangsa, di antaranya, Minangkabau (Sumatera Barat, Indonesia), Campa (Vietnam), Muangthai (segitiga emas Thailand), suku bangsa di India, Afrika, dan Badui (Timur tengah).

Apabila feminisme kita sepakati sebagai perlawanan terhadap budaya patriakhi (sebagaimana yang diyakini oleh feminis liberal), maka suku-suku yang menganut matrilineal bisa kita jadikan sebuah pengecualian? Berangkat dari permasalahan tersebut, maka pada makalah ini penulis akan membahas fenomena feminisme pada masyarakat Minangkabau.

Kondisi Sosial-Politik Perempuan Masyarakat Minangkabau
Adat Minangkabau bersifat matrilineal. Dalam menentukan tempat tinggal suami-istri, adat Minangkabau menganut sistem matrilokal. Dalam adat Minangkabau, yang berkuasa dan bertanggung jawab dalam sebuah rumah tangga adalah ibu yang didampingi oleh mamak (saudara laki-laki ibu), sedangkan ayah hanya sebagai tamu. Dalam perkawinan, menurut adat Minangkabau yang meminang bukan laki-laki atau keluarganya, akan tetapi pihak perempuan. Dalam pembagian harta warisan kaum/suku jatuh pada kepada perempuan, sementara kaum laki-laki tidak mendapatkan bagian apa-apa. Perempuan menempati kedudukan yang istimewa (Ilyas, 2006; hal 47-49).

Garis keturunan menurut ibu, menimbulkan kecendrungan negatif bagilaki-laki di Minangkabau. Mereka dianggap hanyalah sebagai “pejantan”, yang dinikahi oleh perempuan untuk menjaga eksistensi suku sang perempuan. Tapi sisi lain, matrilineal telah memberikan status yang jelas bagi seorang anak, bahwa ia adalah anak dari ibunya. Sebagaimana telah diketahui dalam masalah seksual, patrilineal telah menempatkan perempuan pada posisi yang rendah (belum lagi penderitaan dan sakit karena hamil).

Di atas telah penulis sampaikan tentang keadaan sosial perempuan di Minangkabau, bagaimana dengan kedudukan perempuan di bidang politik. Dalam Diskusi “Memahami Sistem Matrilineal Minangkabau” 25 Desember 2007 yang lalu di Yogyakarta, Dr. Raudha Thaib (Budayawan Sumatera Barat), mengatakan: “Di Minangkabau, perempuan diperbolehkan untuk memasuki wilayah publik. Perempuan Minang tidak dikurung di rumah dan hanya berkecimpung di sektor domestik saja. Perempuan memegang peranan dalam pengambilan keputusan politik dalam kaum/suku dan diperbolehkan untuk menduduki jabatan publik. Dalam sejarah, Kerajaan Minangkabau pernah dipimpin oleh raja Perempuan, yang bernama “Bundo Kanduang”. Hanya tiga posisi yang tidak boleh ditempati perempuan, yaitu Manti (pemimpin adat), Malin (pemimpin agama), dan Dubalang (pemimpin keamanan suku). Selain dari tiga posisi ini, perempuan dipersilahkan untuk berkiprah dan mendudukinya.” (Diskusi Gebu Minang di Asrama Mahasiswa Bundo Kanduang Yogyakarta).

Friedrich Engels: The Origin of The Family, Private Property
Untuk memahami hubungan matrilineal dengan feminisme, ada baiknya penulis sampaikan juga di sini pemaparan Friedrich Engels tentang asal usul keluarga dan kepemilikan pribadi, yang sangat menginspirasi feminis sosialis. Engels mengatakan:

“Sebelum keluarga, atau hubungan perkawinan, ada satu keadaan primitif ‘hubungan seksual yang permisif’ yang dalam hubungan ini setiap perempuan adalah permainan yang adil bagi setiap laki-laki dan sebaliknya. Semua pada dasarnya menikah dengan semua. Dalam proses seleksi alamiah, berbagai golongan darah anggota keluarga perlahan dipinggirkan untuk dipertimbangkan sebagai patner perkawinan yang mungkin. Karena perempuan yang tersedia bagi laki-laki semakin lama semakin sedikit, individu laki-laki mulai secara keras menyatakan klaimnya atas individu perempuan tertentu sebagai hak milik mereka. Akibatnya, timbullah keluarga yang berpasangan, yang mengatur setiap satu laki-laki menikah dengan satu perempuan” (Tong, 1988).

Engels melanjutkan:

“Dengan menekankan bahwa ketika seorang laki-laki mengambil seorang perempuan, ia kemudian hidup di dalam rumah tangga si perempuan. Keadaan ini bukan sebagai tanda subordinasi perempuan, melainkan sebagai tanda kekuatan ekonomi perempuan. Karena pekerjaan perempuan adalah vital bagi kelangsungan hidup seluruh suku (misalnya, tempat untuk tidur, pakaian, alat-alat masak, peralatan) yang dapat diturunkan kepada generasi berikutnya. Masyarakat pasangan awal adalah masyarakat matrilineal, dengan garis hak waris dan keturunan ditelusuri dari garis ibu. Mungkin juga bukan hanya matrilineal, tetapi juga matriarkhal, masyarakat yang di dalamnya perempuan mempunyai kekuatan ekonomi, sosial dan politik.” (Tong, 1988).

Setelah menyampaikan tentag awal mula matrilineal dan perkembangannya, Engels kemudian menjelaskan proses terjadinya perpindahan matrilineal ke patriakhal:
“Sejalan dengan semakin dianggap pentingnya pekerjaan dan produksi laki-laki, bukan saja nilai dan pekerjaan dan produksi perempuan menurun, melainkan status perempuan dalam masyarakat juga menurun. Karena laki-laki kini memiliki sesuatu yang lebih bernilai daripada yang dimiliki perempuan, dan karena laki-laki, untuk alasan yang tidak dapat dijelaskan, tiba-tiba menginginkan anak-anaknya sendiri yang akan memperoleh hak milik mereka, laki-laki memberlakukan tekanan yang sangat besar untuk mengubah masyarakat dari matrilineal menjadi patrilineal. Hak ibu harus ‘dihancurkan’, dan dihancurkanlah hak ibu.” (Tong, 1988).

“Penghancuran hak-hak ibu merupakan kekalahan bersejarah perempuan dunia. Setelah menghasilkan dan menegaskan klaim terhadap kekayaan, laki-laki mengambil alih kendali rumah tangga, mereduksi perempuan menjadi ‘budak’ dari hasrat ragawi laki-laki, dan menjadi ‘sekedar alat produksi anak-anak’. Dalam tataran keluarga baru ini, suami berkuasa atas dasar kekuatan ekonominya. Laki-laki adalah borjuis, sementara istrinya merepresentasikan kaum proletar. Kendali laki-laki atas perempuan berasal dari fakta bahwa laki-laki, dan bukan perempuan, yang mengendalikan kepemilikan. Opresi terhadap perempuan akan berakhir hanya dengan penghancuran institusi kepemilikan pribadi.” (Tong, 1988).

Kemudian, Engels memberikan jalan keluar bagi perempuan untuk melepaskan diri dari kunkungan maskulin:

“Jika istri-istri akan diemansipasi dari laki-laki, perempuan pertama-pertama harus menjadi mandiri dan tidak bergantung kepada laki-laki. Bahkan, syarat pertama bagi emansipasi perempuan adalah masuknya kembali seluruh perempuan ke dalam industri publik, kedua, sosialisasi pengurusan rumah tangga dan pengasuhan anak.” (Tong, 1988).
Setelah membaca pemikiran Engels, dapatlah kita berasumsi bahwa matrilineal adalah sistem masyarakat yang sangat afirmatif memberikan ruang dan hak-hak kepada kaum perempuan. Namun di pihak lain, teoritisasi kontemporer, seperti Nozick masih memiliki perasaan pro maskulin. Dia tidak sependapat dengan Engels. Ia menganggap “ keluarga tradisional (patriakhal) adalah adil, dan kemudian mengukur distribusi yang adil dalam pengertian ‘pendapat rumah tangga’ yang diterimakan kepada ‘kepala rumah tangga’, sehingga pertanyaan tentang keadilan dalam keluarga menjadi tidak mungkin.” (Kymlicka, 2004; hal 331).

Feminisme di Minangkabau
Berdasarkan penjelasan yang disampaikan Engels, penulis melihat keadaan perempuan di Minangkabau telah mendapat legitimasi yang kuat dalam hal mendapatkan hak kepemilikan pribadi dan kebebasan berkiprah di dunia politik.

Meskipun asumsi Engels sangat materialistik, dengan menempatkan kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi, namun hal ini bisa diterima dengan melihat keadaan perpolitikan pada saat ini terjadi, khususnya di Indonesia. Tak dapat dipungkiri pameo “siapa yang ber-uang, dialah yang berkuasa”, telah menjadi “aturan dominan tak tertulis” dalam politik Indonesia. Kasus, banyaknya pengusaha yang menempati jabatan vital di pemerintahan dan partai politik semakin menguatkan realitas bahwa, terdapat korelasi positif antara politik dan uang.

Engels melihat, kekalahan perempuan terletak pada kenyataan, mereka tidak mempunyai akses untuk memiliki property. Keluarga telah mengikat perempuan untuk melakukan “kewajiban moral” sebagai ibu dan istri, yang menyita sebagian besar waktunya bekerja di wilayah domestik (rumah. Kelelahan di rumah tidak memberikan peluang baginya masuk ke ruang publik.

Kita alihkan pandangan kembali pada perempuan Minang. Perempuan Minang oleh adat diberikan hak property, memiliki sawah, rumah, ladang dan tanah. Dalam keluarga mereka sulit diintimidasi oleh suami, karena mamak (saudara laki-laki dari sukunya) akan senantiasa memberikan perlindungan kepada perempuan tersebut. Sehingga sangat kecil kemungkinan suami bisa sewenang-wenang (melakukan kekerasan) terhadap istri. Jika kita hubungkan dengan solusi yang ditawarkan oleh Engels, bahwa perempuan harus keluar untuk memasuki industri publik, maka untuk konteks matrilineal Minangkabau ini tidak diperlukan lagi.

Karena telah memiliki property yang bisa ia sewakan atau dikelola, maka property tersebut semakin bertambah (paling tidak tetap jumlahnya seperti semula). Perempuan Minang tidak mesti harus mengolah sendiri, tapi ia cukup menjadi manajer dari pengelolaan pertambahan asset yang dimiliki. Biasanya yang difungsikan sebagai pekerja untuk menambah asset tersebut adalah suami, yang “dijemput” oleh pihak/keluarga perempuan. Pengalaman sebagai manajer ini, bisa membentuk karakter kepimpinan yang pada level lebih tinggi bisa dia gunakan dalam wilayah kepemimpinan politik.

Penutup
Ketika adat Minangkabau, telah menempatkan posisi perempuan “lebih penting” dari laki-laki, apakah bisa kita katakan “feminisme tidak berlaku untuk masyarakat Minangkabau”? Mungkin, banyak yang akan mengatakan “tidak perlu”.

Namun, menurut hemat penulis, feminisme sebagai sebuah spirit dan gerakan penyadaran akan posisi perempuan yang subordinat dari laki-laki, masih dibutuhkan oleh perempuan Minang. Ada beberapa kondisi yang menguatkan penulis untuk berpendapat seperti ini: (1) Perempuan Minang, karena telah diberikan perlakuan istimewa oleh adat, cendrung untuk bermalas-malasan, tidak memiliki sebuah visi menatap masa depan, kecuali keinginan untuk mendapatkan suami kaya dan berpangkat sehingga semakin membuat dirinya ‘larut’ dalam “kebahagiaan materi”, (2) Seperti kategorisasi Engels bahwa ada perempuan borjuis dan proletar, maka di Minang ada juga kelas perempuan miskin (karena sukunya miskin), yang tidak memungkinkan ia untuk memperoleh hak-hak property dan kedudukan politis istimewa di masyarakat. Bagi mereka ini, pemikiran feminisme masih diperlukan untuk meningkatkan harkat dan martabatnya, (3) Karena dininabobokkan oleh hak istimewa, banyak perempuan yang merasa cukup dengan hak istimewa itu. Kenyataan ini membuat mereka nyaman berperan hanya di wilayah domestik (rumah tangga) saja, sehingga jarang yang mau berkiprah di wilayah publik. Hal ini dapat kita lihat pada minimnya perempuan Minang berkiprah di bidang politik maupun perusahaan.

Oleh karena itu, penulis berkesimpulan, ketika kita memahami feminisme, maka kita tidak bisa melepaskan faktor lokalitas. Feminisme lahir bukan tanpa ada latar belakang sosio-historis. Kita harus secara cermat dalam membawa feminisme yang lahir di Barat masuk dalam pemikiran perempuan di Indonesia. Sebagai bentuk pemikiran brilian, feminisme harus diberikan apresiasi dengan tetap kritis dalam pengimplementasikannya, terutama dalam konteks kebudayaan Indonesia.

Daftar Pustaka

* Ilyas, Yunahar. 2006. Ketaraan Jender dalam Al Qur’an: Studi Pemikiran Para Mufasir. Penerbit Labda Press; Yogyakarta.
* Kymlicka, Will. 2004. Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-Teori Keadilan. Terjemahan Agus Wahyudi. Penerbit Pustaka Pelajar; Yogyakarta.
* Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Terjemahan Aquarini Priyatna Prabasmoro. Penerbit Jalasutra; Yogyakarta.

0 komentar: