Kajian Al Qur’an dan Tafsir Al Qur’an

Kini, kajian Islam ala orientalis sudah mulai berkembang di dunia Islam, termasuk di Indonesia, dan setiap tahun, ribuan sarjana Muslim belajar tentang Islam kepada kaum Yahudi-Kristen. Bukan hanya itu, studi Islam ala orientalis, juga sudah diadopsi di kampus-kampus berlabel Islam. Sebagai contoh, dalam studi Al Qur’an, kini dikembangkan ajaran kritis terhadap Al Qur’an yang mengadopsi tradisi Bibel. Berbagai buku, tesis, skripsi, dan jurnal diterbitkan mengkritik otentisitas dan kesucian Al Qur’an. Bahkan sudah ada dosen IAIN Surabaya yang secara terang-terangan menginjak lafaz Allah yang ditulisnya sendiri di hadapan para mahasiswanya, karena menganggap Al Qur’an adalah produk budaya dan posisinua sama dengan rumput.

Seperti dilaporkan Majalah Gatra edisi 7 Juni 2006, pada 5 Mei 2006, Sulhawi Ruba, 51 tahun, dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, di hadapan 20 mahasiswa Fakultas Dakwah, menerangkan posisi Al Qur’an sebagai hasil budaya manusia. “Sebagai budaya, posisi Al Qur’an tidak berbeda dengan rumput,” ujarnya. Ia lalu menuliskan lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu. “Al Qur’an dipandang sacral secara substansi, tapi tulisannya tidak sacral”, katanya setengah berteriak, dengan mata yang sedikit membelalak.

Wacana dekonstruksi konsep wahyu dan tafsir al Qur’an merupakan wacana yang berkembang pesat di Indonesia saat ini. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Kajian “Biblical Criticism” atau studi tentang kritik Bible dan kritik teks Bible telah berkembang pesat di Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari Scholl of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testament”. Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadap Teks Bible. Begitu juga karya Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972).

Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk “melirik” Al Qur’an dan mengarahkan hal yang sama terhadap Al Qur’an. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan Guru Besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik teks terhadap Al Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scripture) (Lihat artikelnya dalam Bulletin of the John Rylands Library, di Jurnal Al Insan, No 1/Januari 2005).

Hampir satu setengah abad lalu, para orientalis dalam bidang studi al Qur’an bekerja keras untuk menunjukkan bahwa al Qur’an adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible. Mereka tidak berhasil. Tapi, anehnya, kini, imbauan itu sudah diikuti begitu banyak manusia dari kalangan Muslim sendiri, termasuk yang ada di Indonesia. Sesuai paham pluralism agama, maka semua agama harus didudukan pada posisi yang sejajar,sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok agama yang mengklaim hanya kitab sucinya saja yang suci.

Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan lenyap jika tidak menyentuh aspek kesucian al Qur’an. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinkan kaum Muslim, bahwa al Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang suci, bebas dari kesalahan. Mereka mengabaikan bukti-bukti agama lain. Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Qur’an di IAIN Makasar, menulis satu makalah berjudul “Edisi Kritis al Qur’an”, yang isinya menyatakan:

“ Uraian dalam paragraph-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Al Qur’an, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. karena itu, tulisan ini juga akan mengangas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan Edisi Kritis Al Qur’an” (lihat makalah Taufik Adnan Kamal berjudul “Edisi Kritis Al Qur’an”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia”. Jakarta: JIL, 2002. Hal 78).

Taufik berusaha menyakinkan, bahwa al Qur’an saat ini masih bermasalah, tidak kritis, sehingga perlu diedit lagi. Dosen ini pun menulis sebuah buku serius berjudul “Rekonstruksi Sejarah Al Qur’an” yang juga meragukan keabsahan dan kesempurnaan Mushaf Utsmani (Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al Qur’an, Yogyakarta: FKBA, 2001). Penulis buku ini mencoba menyakinkan bahwa mushaf Utsmani masih bermasalah, dan tidak layak disucikan.

Ada lagi sebuah tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), ditulis oleh Aksin Wijaya, yang secara terang-terangan juga menghujat Kitab Suci Al Qur’an. Tesis itu sudah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, dan diberi kata pengantar dua orang doctor dalam bidang studi Islam, dosen di pasca sarjana UIN Yogyakarta. Di dalam buku ini, misalnya, kita bisa menikmati hujatan terhadap al Qur’an seperti kata-kata berikut ini:

“Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dahulu menempatkan Mushaf Utsaimin itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sacral dan absolute, melainkan profane dan fleksibel. Yang sacral dan absolute hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita.”(Aksi Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004. Hal 123).

Dosen di Universitas Paramadina, dr. Luthfi Assyaukanie juga berusaha membongkar konsep dasar Islam tentang Al Qur’an:
“Sebagian besar kaum Muslim menyakini bahwa Al Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga menyakini bahwa Al Qur’an, yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formulisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Al Qur’an sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit) dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa.” (Luthfi Assyaukanie, Merenungkan Sejarah Alqur’an”, dalam Abdul Muqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal, Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005. Hal 1).

Jadi, di berbagai penerbitan, wacana yang menyerang Al Qur’an telah dilakukan dan secara terang-terangan menyebarkan pemikiran yang destruktif terhadap Al Qur’an. Itu bisa dilihat dalam buku-buku, artikel-artikel, dan jurnal yang mereka terbitkan. Sebagai contoh, Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, edisi 23 Th XI 2003, memuat tulisan yang secara terang-terangan menyerang Al Qur’an dan sahabat Nabi Muhammad Saw:

“ Dalam studi kritik Al Qur’an, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik historisitas Qur’an. Bahwa Al Qur’an kini sudah berupa teks yang ketika hadir bukan bebas nilai dan tanpa konteks. Justru konteks Arab 14 abad silam telah mengkontruks Al Qur’an. Adalah Muhammad saw, seorang figure yang saleh dan berhasil mentransformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas Arab. Namun, setelah Muhammad wafat, generasi pasca Muhammad terlihat tidak kreatif. Jangankan meniru kritisisme dan kreativitas Muhammad dalam memperjuangkan perubahan realitas zamannya, generasi pasca Muhammad tampak kerdil dan hanya mem-bebek pada apa saja yang asalkan itu dikonstruk Muhammad. Dari sekian banyak daftar ketidakkreatifan generasi pasca Muhammad, yang paling paling mencelakakan adalah pembukuan Al Qur’an dengan dialek Quraisy, oleh khalifah Utsman Ibn Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lain. Imbas dari sikap Utsman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk tunduk/mensakralkan Qur’an produk Quraisy. Karenanya, wajar jika muncul asumsi bahwa pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Utsman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab (dan Islam). Hegemoni ini tampak jelas terpusat pada ranah kekuasaan, agama, dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.” (Dalam Jurnal Justisia, Edisi 23 Th XI/2003 ini bisa dibaca berbagai artikel dengan judul-judul yang melecehkan al Qur’an dan menghina para sahabat Nabi Muhammad saw, seperti “Qur’an ‘Perangkap’ Bangsa Quraisy” oleh M. Khalidul Adib Ach, “Pembukuan Qur’an oleh Usman: Sebuah Fakta Kecelakaan Sejarah” oleh Tedi Kholiludin, “Kritik Ortodoksisme: Mempertanyakan Ketidakkreativan Generasi Pasca Muhammad”, oleh Iman Fadhilah el-Barbazzy Erha, dan sebagainya).

Penyerangan terhadap Al Qur’an di lingkungan perguruan tinggi Islam merupakan hal yang baru dalam masyarakat Muslim Indonesia. Dulu, berates-ratus tahun, wacana itu hanya berkembang di lingkungan orientalis Yahudi dan Kristen. Tetapi, saat ini, suara-suara yang menghujat al Qur’an justru lahir dari lingkungan perguruan tinggi Islam, yang kebanyakan hanya menjiplak dan mengulang-ulang pendapat lama yang beratus-ratus tahun disuarakan para orientalis. Tentu, masalah ini tidak bisa dianggap sepele dan perlu dijawab secara akademis dan ilmiah.

Cara yang lebih halus dan tampak akademis dalam menyerang al Qur’an juga dilakukan dengan mengembangkan studi kritik al Qur’an dan studi hermeneutika di Perguruan Tinggi Islam. Diantara tokoh-tokoh terkenal dalam studi ini adalah Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun. Buku-buku kedua tokoh ini sudah banyak diterjemahkan di Indonesia. Bahkan, Nasr Hamid yang terkenal dengan teorinya “Al Qur’an merupakan produk budaya Arab (muntaj tsaqafi) sudah memiliki sejumlah murid yang kini mengajar di sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia. Buku Arkoun, Rethinking Islam, bahkan dijadikan buku rujukan utama dalam mata kuliah “Kajian Orientalisme terhadap Al Qur’an dan Hadist” di program Tafsir Hadist Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta. Tujuan mata kuliah ini adalah agar “Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis terhadap Al Qur’an dan Hadist.” Dalam bukunya tersebut, Arkoun secara terang-terangan menyesalkan, mengapa para cendikiawan Muslim tidak mau mengikuti orientalis Yahudi dan Kristen yang telah melakukan kritik terhadap Bibel. Ia menulis dalam bukunya: “Sayang sekali bahwa kritik filosofis terhadap teks suci-yang telah diterapkan pada Bible berbahasa Hebrew dan Perjanjian Baru tetapi tidak menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negative bagi konsep wahyu-terus ditolak oleh pendapat ilmiah umat Islam. Karya-karya aliran Jerman terus diabaikan, dan ilmuan-ilmuan Muslim tidak berani melakukan penelitian semacam itu walaupun penelitian ini akan memperkuat fondasi ilmiah sejarah mushaf dan teologi wahyu. Alasan yang melatarbelakangi perlawanan ini bersifat politik dan psikologis.” Kajian hermeneutika sebagai metode tafsir penganti ilmu tafsir klasik pun sudah menjadi mata kuliah wajib di Program Studi Tafsir Hadist UIN Jakarta dan sejumlah perguruan tinggi Islam lainnya. Padahal, metode ini jelas-jelas berbeda dengan ilmu tafsir dan bersifat dekonstuktif terhadap Al Qur’an dan syari’at Islam (Paparan lebih jauh tentang masalah liberalisasi al Qur’an di Perguruan Tinggi Islam, lihat, Adian Husaini, Hegemoni Kristen dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: GIP, 2006).

Sebagai contoh, kini dikembangkan satu metode historis kontekstual dalam penafsiran al Qur’an yang berdampak serius pada syariat Islam. Prof. Siti Musdah Mulia, seorang tokoh feminis, misalnya, melakukan perombakan terhadap hukum perkawinan dengan metode kontekstualisasi. Ia menulis:

“Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu (QS 60:10, pen), larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya.” (Musdah Mulia, Muslimah Reformis, Bandung: Mizan, 2005. Hal 63).

Oleh: Adian Husaini, M.A. (Kandidat Doctor ISTACS IIUM Malaysia, Dosen Pasca Sarjana Pusat Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia)

0 komentar: