Memperhatikan tema-tema yang disajikan pada perhelatan Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII yang dilaksanakan di Pekanbaru pada 21-24 November lalu, seperti yang disebutkan Henri Sholahuddin di koran ini (01/12/2007), terlihat indikasi kuat gencarnya gerakan liberalisasi Islam. Kehadiran Nasr Hamid Abu Zayd dalam acara tersebut memperkuat Indikasi tersebut. Kita telah ketahui bersama bahwa gerakan kritik teks suci, kritik syariah agama, dan gerakan liberalisasi lahir dari kebudayaan Barat. Gerakan ini bertujuan untuk menemukan kehidupan yang lebih maju dan lebih baik, karena mereka merasa bahwa dalam agama mereka banyak hal yang bertentangan dengan fitrah manusia dan ilmu pengetahuan.
Begitu pun teks suci, dalam pandangan mereka banyak yang bertentangan satu sama lain. Lalu apa yang menjadi alasan umat Islam ikut-ikutan mengritik teks suci Alquran, Al Hadis, mempertanyakan kembali konsep tafsir Alquran atau malah mendekontruksi ajaran-ajaran Islam yang telah mapan dan dipegang teguh oleh umat Islam selama berabad-abad? Mengapa kita tidak melihat apa dampak gerakan liberalisasi terhadap eberagamaan masyarakat Barat dan bagaimana bahaya yang ditimbulkan jika hal ini dilakukan dalam ajaran Islam?
Keberagamaan di Barat
Ketika pihak gereja memimpin Eropa selama berabad-abad, keadaan Eropa waktu itu mengalami keterpurukan yang lebih dikenal dengan dark age. Lalu sejak abad ke-15 banyak kritik terhadap kekangan gereja. Bangsa Eropa mulai sadar bahwa banyak kerancuan dalam ajaran gereja. Dari mulai konsep akidah, kitab suci, juga ajarannya, banyak yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan alam.
Di antara yang berani menghadirkan kritik itu adalah pendeta Nicolaus Copernicus (1543 M) mencetuskan teori heliosentris. Teori tersebut menentang kebijakan gereja yang selama ini mempunyai paham filsafat Ptolemaeus yang mengatakan bahwa bumi sebagai pusat tata surya. Perjuangan Copernicus diikuti oleh Gardano Bruno (1594), fisikiawan Jerman Johannes Kapler (1571-1630), Galileo Galilei (1564-1642), dan pada Tahun 1642 bertepatan dengan meninggalnya Galileo lahirlah ilmuan baru Isaac Newton.
Dia adalah seorang penemu teori gravitasi bumi, sehingga dengan penemuanya dia berhasil mendobrak kerancuan berpikir gereja serta mengubah world view baru bagi Eropa dalam memahami agama. Newton bukan saja mengritik gereja dalam masalah sains akan tetapi dia juga mengkritik paham trinitas. Pada tahun 1670 M dia mengumumkan bahwa ajaran trinitas dibawa oleh Athanasius untuk mencari muka orang-orang pagan yang baru masuk agama Kristen sekaligus Athanius sendiri yang memberikan tambahan-tanbahan terhadap Injil (Karen amstrong:2004).
Kritik terhadap gereja diusung pula oleh John Lock (1704 M) dengan mencetuskan liberalisme dalam politik, di mana dia membentuk ideologi baru yang memberikan kebebasan masyarakat dari kekangan pemerintahan gereja pada masa itu. Adam Smith (1790 M) mengusung liberalisme dalam ekonomi, yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menjalankan perekonomiannya tanpa intervensi dari pemerintahan gereja.
Ketika otoritas Gereja runtuh, bangsa Eropa terbagi menjadi dua aliran dalam menyikapi Agama. Pertama, Aliran Deisme, di mana aliran ini masih mempercayai akan adanya Tuhan tapi tidak mempercayai akan ayat-ayat Tuhan. Tokoh-tokohnya antara lain, Rene Decrates (1596-1650 M), Martin Luther(1483-1556 M), Huldrych Zwingli (1483-1556 M), John Calvin (1509-1564 M), Isaac Newton (1642-1724 M), John Lock (1632-1704), Immanuel Khan (1724-1804 M), dan sebagainya.
Aliran kedua adalah ateisme atau materialisme. Tokoh yang pertama meluncurkan gagasan ini adalah George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831 M) dan muridnya Ludwig Feuerbach (1804-1872 M). Selanjutnya Karl Marx (1818-1883 M), menulis dalam buku Economic and Philosophical Manuscript, bahwa agama merupakan gejala masyarakat yang sakit. Agama adalah candu masyarakat yang bisa menerima sistem sosial yang rusak. Agama menghilangkan keinginan untuk menemukan obat dengan mengalihkan perhatian dari dunia ini kepada akhirat.
Ketidakpercayaan atas Tuhan diusung pula oleh Charles Darwin (1809-1882 M), dalam buku kontroversialnya The Origin of Species by Means Natural Selection (1859). Dengan teori evolusinya, Darwin mencoba memisahkan intervensi Tuhan dalam penciptaan alam dan kehidupan mahluk hidup di dunia ini. Ateisme berpuncak pada deklarasi kematian Tuhan pada tahun 1882 oleh Friedrich Nietzsche (1844-1900 M) melalui bukunya The Gay Science. Dengan jelas kita bisa lihat bahwa gerakan liberalisasi yang selama ini diusung oleh Barat adalah untuk keluar dari kekangan ajaran yang bermasalah, dan konsekuensi dari gerakan ini adalah mengantarkan bangsa Barat menjadi ateis atau sedikitnya mereka mempercayai Tuhan tapi tidak dengan ajaran-Nya (deisme).
Bahaya liberalisasi Islam
Agama Islam lahir ke dunia membawa konsep ajaran yang mapan dan sempurna. Konsep akidah, kitab suci dan syariahnya tidak ada yang bertentangan dengan fitrah manusia juga ilmu pengetahuan. Sehingga dengan kesempurnaannya itu Islam sejak lahir langsung bisa menjadi solusi bagi kebudayaan jahiliyah bangsa Arab.
Selanjutnya, dengan memegang teguh ajaran yang termaktub dalam Alquran dan Al Hadis, umat Islam bisa mencapai zaman kegemilangan selama berabad-abad dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa harus meninggalkan esensi ajarannya. Agama Islam mempunyai pengalaman dan esensi ajaran yang berbeda dengan agama Barat. Adalah suatu yang tidak adil dan tidak masuk akal mensejajarkan Islam dengan pengalaman keberagamaan Barat, sehingga Islam harus menerima proyek liberalisasi seperti halnya yang terjadi di Barat. Perlu diingat bahwa gerakan liberalisasi Barat telah mengantarkan mereka menjadi seorang yang ateis atau deisme. Jadi tidak menutup kemungkinan jika dampak dari liberalisasi Islam pun mempunyai dampak yang sama seperti Barat.
Oleh : Rifqi Fauzi Mahasiswa Jurusan Hadis, Universitas Al Azhar Kairo, Mesir
Sumber: http://republika.co.id/kolom_detail.asp?id=317041&kat_id=16
0 komentar:
Posting Komentar