Benarkan Muslim itu musuh kita? Mengapa kita harus berbaik hati pada mereka sedangkan mereka malah membenci kita? Benarkah kekerasan menjadi inti dasar ajaran agama ini?
Pertanyaan senada terdengar beberapa kali dalam sebuah simposium yang dihajat Northwest University, Seattle, Amerika Serikat. Tak seperti biasanya, acara itu diadakan di kafe yang berada di lingkungan universitas. Pesertanya, selain pada dosen dan mahasiswa, juga utusan dari gereja-gereja di kota itu. Simposium ini, kendati diadakan di kafe, didukung penuh pihak universitas yang memiliki 1.200 orang mahasiswa ini. Bahkan, seperti dilaporkan Seattle Times, Northwest Ministry Network of the Assemblies of God, payung dari 340 gereja di Washington dan Idaho bagian utara juga mendukung acara ini.
Simposium ini digagas pertama kali oleh David Oleson, profesor di bidang studi interkultural di universitas itu. Salah satu alasannya, ia ingin mendudukkan persoalan para proporsinya. “Saya melihat gereja sangat kabur dalam melihat Islam, dan mereka lebih memposisikannya sebagai musuh,” ujarnya.
Ia mencontohkan bagaimana reaksi para jamaah ketika di beberapa gereja diputarkan film berjudul Obsession: Radical Islam’s War Against the West. “Mereka sangat marah pada Islam, ujarnya, Menurut saya, itu hanya pandangan dari satu sisi saja. Kita belum mengenal Islam secara menyeluruh.
Di satu sisi, ia melihat hal yang berbeda saat isu mengenai Israel dikemukakan. “Mereka meyakini seperti apa yang disebut dalam Alkitab bahwa Israel memang harus dikembalikan ke Kota Suci Jerusalem sebelum kedatangan Yesus untuk kedua kalinya,” ujarnya.
Dan karena Islam dianggap musuh Israel, maka mereka pun “harus” membenci Islam. “Saya kira, kita harus melihat dari sisi Arab atau Islam dalam hal ini,” kata dia.
Diskusi semacam ini sangat disukai para mahasiswa. David Thompson, mahasiswa berusia 19 tahun, misalnya, mengaku akan mengikuti diskusi lanjutan yang akan diselenggarakan di Butterfield Chapel, Northwest University, kendati harus merogoh kocek 50 dolar AS sebagai biaya registrasi. “Saya sungguh terpesona,” ujarnya sesaat setelah menyeruput coffee latte-nya. “Bahwa di dalam komunitas Kristen yang hangat, mereka membuka diri untuk sebuah perspektif segar.
Tanpa pembicara Muslim
Yang menarik, kendati mendiskusikan tentang Islam, tak ada satu pun pembicara Muslim dalam simposium ini. “Saya tak ingin menyuguhkan konfrontasi di sini,” ujar Oleson. “Ini bukan dialog Muslim-Kristen. Saya hanya ingin membuka jalan.
Seorang panelis, Sandra Cosby, 28 tahun, mendukungnya. Menurut dia, tanpa pembicara Muslim membuat diskusi itu justru lebih fair. “Kita bisa mendengarkan apa kata para pembicara tanpa takut bahwa kita sedang dipengaruhi untuk menjadi Muslim,” ujarnya.
Cosby, seorang analis intelijen, menyatakan sama seperti teman-temannya yang sudah melanglang buana ke berbagai negara untuk bertugas, berpikir bahwa Muslim membenci Amerika. Namun teman-temannya yang bertugas di Irak memberi pandangan yang baru baginya. “Tidak semua Muslim demikian. Hanya fraksi kecil saja.”
Namun bagi Thompson, seorang barista paruh waktu yang juga menjadi peserta simposium, ketidakhadiran pembicara Muslim dalam acara itu adalah sesuatu yang problematis. Dia sendiri mengaku kini tengah belajar tentang Islam. “Di tengah komunitas kita, Muslim ketakutan. Apalagi media tidak berkontribusi apapun selain mempertebal stereotip atas mereka,” lanjut Thompson.
Dunia ‘tak terjamah’
Simposium setengah hari itu memberi pencerahan baru bagi pesertanya. Baik mahasiswa maupun evangelis Kristen yang hadir menyepakati simpulan yang disepakati usai simposium bahwa tak ada yang salah dengan Islam yang mereka sebut unreachable world itu. “Kami percaya, mereka bukan musuh,” ujar James Wellman, asisten profesor bidang perbandingan agama di University of Washington.
“Sangat disayangkan bila seorang evangelis menggambarkan secara seragam tentang Muslim dan mengobarkan kebencian,” ujarnya. “Karena saya pikir, bukan itu tugas seorang evangelis,” tambahnya.
Ia sepakat dengan simpulan beberapa panelis tentang komunitas Muslim bahwa dunia Islam adalah dunia yang selama ini tak terjamah. “Perlu membangun pemahaman yang lebih baik.”
Namun seperti jamaknya sebuah diskusi, tak semua sepakat dengan kesimpulan yang diambil. Pastor Joseph Fuiten dari Cedar Park Assembly of God Church di Bothell, misalnya, percaya bahwa Islam adalah agama yang menjadikan kekerasan sebagai core mereka. Ia menyatakan, pemutaran film Obsession itu diperlukan agar jamaah melihat sendiri bagaimana Islam yang sesungguhnya. “Saya pikir saya tahu apakah saya perlu atau tidak untuk memahami Islam,” ujarnya.
Setuju atau tidak setuju dengan hasil simposium, demikian Seattle Times dalam alinea terakhir tajuknya menuliskan, simposium ini merupakan langkah maju dalam dialog lintas agama. “Untuk membangun saling pengertian budaya, religi, dan kekurangan dari orang-orang yang berbeda latar belakang budaya,” tulisnya, mengutip omongan Wellman dalam diskusi itu. “We need to love them, minister to them.”
( tri/seattle times/RioL )
0 komentar:
Posting Komentar