Langkah diplomatik Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad, mengambil inisiatif dalam konteks hubungan AS-Iran yang kian memanas tampaknya akan memiliki dampak yang luas. Sekalipun mendapat caci-maki kekanak-kanakan dari Presiden Universitas Columbia, Lee Bollinger, langkah berani Ahmadinejad bukan tak mungkin akan terbukti menghunjam lebih dalam ketimbang yang diperkirakan para musuhnya di AS.
Bagi setiap orang yang dapat berpikir dengan lebih tenang, keberanian Ahmadinejad untuk tanding tandang, menahan segala celaan dan cemooh hadirin, sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan sikap kekanak-kanakan dan kepicikan sang rektor dan sebagian audiens untuk memperolok tamu yang diundangnya.
Pemandangan kontras ini dapat dilihat sebagai pertanda keyakinan akan kemenangan di pihak Ahmadinejad dan semua yang dia wakili, sekaligus menandakan suasana frustrasi serta kegelisahan di pihak Bollinger dan semua yang diwakilinya. Di bawah ini adalah sebagian kecil kandungan ceramah kedua pihak yang mewakili dua peradaban yang berbeda itu.
Bollinger memulai ‘ceramah penyambutannya’, antara lain, dengan menyatakan bahwa acara tersebut tidak berhubungan sama sekali dengan hak pembicara (Ahmadinejad), tapi hanya berkaitan dengan haknya untuk mendengar dan berbicara. ”Kami melakukan ini demi diri kami sendiri,” kata Bollinger. Kemudian Bollinger melanjutkan, ”Suatu hari pada Desember 2005 dalam sebuah acara siaran televisi negara, Anda menggambarkan holocaust sebagai sebuah legenda yang dibuat-buat. Satu tahun kemudian, Anda mengadakan konferensi dua hari yang menghimpun para pengingkar holocaust. Bagi orang awam dan bodoh sekalipun, ini adalah propaganda yang berbahaya.”
Tepuk tangan memecah ketegangan. Bollinger menandaskan, ”Sekarang Anda datang ke tempat ini (tempat bagi banyak pengungsi holocaust), maka Anda tampak menggelikan. Anda hanya menjadi seorang yang secara angkuh bersifat provokatif atau secara mengejutkan tidak berpendidikan.” Lagi-lagi tepuk tangan membahana. Bollinger meneruskan, ”Dua belas hari yang lalu Anda berkata negara Israel tidak lagi bisa hidup.
Pernyataan ini menggemakan berbagai pernyataan provokatif yang Anda sampaikan pada dua tahun terakhir, termasuk pada Oktober 2005, ketika Anda berkata Israel itu harus dihapuskan dari peta. Nah, di Columbia banyak mahasiswa yang tinggal di Israel atau berasal dari Israel, apakah penghapusan itu itu juga mencakup Columbia? Mengapa Anda mendukung organisasi-organisasi teroris yang senantiasa menghantam perdamaian dan demokrasi di Timur Tengah, menghancurkan hidup dan masyarakat sipil di kawasan itu?” Tepuk tangan memuncak.
Bollinger meneruskan kecamannya, ”Dalam sebuah pengarahan di hadapan National Press Club, Jenderal David Petraeus melaporkan senjata-senjata yang datang dari Iran, termasuk 240 milimeter roket dan proyektil peledak, berandil pada `serangan-serangan canggih yang sama sekali tidak akan mungkin tanpa dukungan Iran.’ Sejumlah lulusan Columbia dan para mahasiswa ada di antara para anggota militer pemberani yang sedang bertugas di Irak dan Afghanistan.
Mereka, seperti kebanyakan orang Amerika lainnya dengan putra, putri, ayah, suami, dan istri yang bertugas di medan pertempuran, benar-benar melihat pemerintahan Anda sebagai musuh, Mengapa Anda memilih membuat orang-orang di negara Anda menjadi lemah akibat sanksi-sanksi ekonomi internasional, dan mengancam untuk menelan dunia dalam pembasmian nuklir?”
Setelah melihat kecaman yang bertubi-tubi itu, sekarang marilah kita simak ringkasan pernyataan Ahmadinejad di forum Universitas Columbia petang 24 September 2007 itu. Ahmadinejad mengawali ceramahnya dengan mempersoalkan sikap Lee Bollinger yang telah membacakan pernyataan politik yang melecehkan dirinya sebelum ada pernyataan dari tamu yang diundangnya.
”Menurut saya, teks yang dibacakan oleh tuan di sini (Bollinger), bukan hanya menyangkut saya, melainkan lebih merupakan penghinaan atas informasi dan pengetahuan para pendengar yang hadir di sini. Dalam lingkungan universitas, kita harus membiarkan seseorang mengatakan pikirannya, mengizinkan setiap orang untuk berbicara sehingga kebenaran pada akhirnya bisa diungkapkan. Sudah tentu dia (Bollinger) mengambil lebih banyak waktu ketimbang yang dialokasikan untuk saya. Tapi tak apalah. Kita biarkan semua itu sebagai tambahan dalam daftar klaim penghormatan atas ‘kebebasan berbicara’ di negeri ini.”
Ahmadinejad melanjutkan ceramah singkatnya dengan memaparkan arti penting pengetahuan, informasi, dan riset bagi semua orang, terutama kalangan terpelajar. ”Kunci untuk memahami realitas sekitar kita ada di tangan para peneliti, yakni mereka yang mau menguak yang tersembunyi, ilmu-ilmu yang belum diketahui. Seluruh jendela realitas yang mungkin hanya bisa dibuka oleh para sarjana dan kaum terpelajar di dunia,” tutur dia.
”Ajaran para nabi, dari Adam sampai Muhammad, bertujuan membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan, tahayul, perilaku tidak etis dan pola berpikir yang keliru. Salah satu bahaya yang ditimpakan pada pengetahuan ialah pembatasannya pada bidang eksperimental dan fisik, lantaran realitas jauh lebih luas daripada yang dapat ditampung oleh ranah materi.”
Ahmadinejad menambahkan bahwa di sisi lain, ilmu pengetahuan dapat disalahgunakan oleh individu atau kelompok yang korup dan egois. Akibatnya, ilmu hanya dipakai untuk melayani nafsu dan memuaskan amarah. Di dunia dewasa ini, negara-negara berkuasa hanya menyalahgunakan para ilmuwan untuk kepentingan mereka semata-mata. Negara-negara ini juga memanfaatkan semua peluang demi kepentingan mereka. Misalnya, dengan menggunakan metode-metode ilmiah, kini mereka menipu masyarakat dengan menciptakan musuh-musuh yang sebenarnya tiada, dan menimbulkan atmosfer ketakutan.
Semua ini, menurut dia, agar mereka bisa mengendalikan segala sesuatu atas nama (perang) melawan terorisme. Negara-negara adikuasa ini juga melanggar privasi, menyadap telepon dan terus-menerus merekayasa suasana psikologis yang tidak aman agar mereka bisa terus berkuasa atas rakyat mereka. Misal lain, dengan metode-metode ilmiah dan perencanaan yang matang, mereka melancarkan serangan pada budaya lokal yang merupakan buah interaksi, kreativitas, dan aktivitas kesenian ribuan tahun.
Hal yang lebih memilukan adalah upaya kekuatan-kekuatan besar untuk memonopoli sains dan mencegah negara-negara lain dalam mencapai pengembangan ilmiah yang sama. Mereka berdalih dengan ribuan alasan, melemparkan tuduhan tanpa bukti, memberlakukan sanksi-sanksi ekonomi untuk mencegah perkembangan dan percepatan. Semua itu merupakan akibat pudarnya nilai-nilai kemanusiaan, moral dan ajaran para nabi Ilahi. Dengan sangat menyesal, mereka memang belum terlatih untuk melayani umat manusia.
Para ilmuwan seharusnya menjadi orang-orang yang memandu umat manusia menuju masa depan yang lebih baik. Tuhan menyadari semua realitas. ”Saya berharap akan datang suatu hari manakala para ilmuwan memerintah dunia dan Tuhan itu sendiri akan datang bersama Nabi Musa, Isa, dan Muhammad untuk memerintah dunia ini dan membawa kita menyongsong keadilan,” ujar Ahmadinejad.
Mengacu pada dua poin yang dikatakan (Bollinger) di pengantar, Ahmadinejad mengaku terbuka bagi setiap pertanyaan. ”Tahun lalu, atau dua tahun lalu, saya mengajukan dua pertanyaan. Anda tahu pekerjaan utama saya adalah dosen. Walau menjadi presiden, saya masih mengajar di tingkat pascasarjana dan doktoral setiap minggu. Mahasiswa saya banyak bekerja dengan saya dalam berbagai bidang ilmu. Saya percaya bahwa saya adalah seorang akademisi. Maka itu, saya berbicara dengan Anda dari sudut pandang akademis. Saya pernah mengajukan dua pertanyaan.
Tapi, alih-alih mendapat tanggapan, saya malah menerima gelombang hujatan dan tuduhan. Dan sayangnya, kebanyakan penghujat dan penuduh itu datang dari kelompok yang mengklaim percaya pada kebebasan berbicara dan kebebasan mendapat informasi. Anda pasti tahu bahwa Palestina adalah luka yang telah berusia tua 60 tahun.”
Menurut Ahmadinejad, selama 60 tahun, orang-orang ini diusir; terus dibantai didera konflik dan teror. Kaum wanita dan anak-anak mereka yang tidak bersalah dibinasakan, dihancurkan, dan dibunuh oleh segala rupa helikopter dan pesawat tempur (Israel) yang meluluhlantakkan rumah mereka dari atas. Anak-anak (Palestina) usia sekolah banyak yang dipenjarakan dan disiksa. Keamanan Timur Tengah selalu berada dalam bahaya; dan selama 60 tahun ini, menurut dia, masyarakat sering mendengar slogan ekspansionisme ‘Dari Nil hingga Efrat’.
”Dua pertanyaan yang sama akan saya ajukan lagi di sini. Dan Anda dapat menilai apakah tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan ini harus berupa hujatan dan tudingan atau mencuatkan segala propaganda negatif? Atau haruskah kita benar-benar mencoba menghadapi dua pertanyaan ini dan menjawabnya? Seperti Anda, seperti umumnya para akademisi, saya akan berupaya diam sampai saya mendapat jawaban. Maka itu, saya menunggu jawaban logis dan bukannya hujatan.
Pertanyaan pertama saya adalah jika memang holocaust itu kenyataan yang terjadi di zaman ini, mengapa tidak ada riset memadai yang dapat mendekati topik ini dari perspektif-perspektif yang berbeda? Teman kita (Bollinger) merujuk pada 1930 sebagai titik awal perkembangan ini; tapi saya menduga holocaust, dari apa yang kita baca, terjadi selama Perang Dunia II pada 1940-an. Maka, Anda tahu, kita harus benar-benar mampu melacak peristiwa itu,” tutur Ahmadinejad.
Ahmadinejad menganggap pertanyaan itu sederhana. Kata dia, ada sejumlah peneliti yang ingin mendekati topik ini dari suatu perspektif yang berbeda, namun mereka dijebloskan ke penjara. Sekarang ini, ada beberapa akademisi Eropa yang dikurung karena mencoba menulis tentang holocaust. Padahal mereka hanya mencoba mempertanyakan aspek-aspek tertentu berkenaan dengan holocaust dari perspektif berbeda.
”Pertanyaan saya adalah mengapa hal ini tidak terbuka bagi semua bentuk riset? Saya diberi tahu bahwa sudah terdapat cukup riset mengenai topik ini. Dan saya bertanya, bukankah topik-topik seperti kebebasan, demokrasi, konsep-konsep dan norma-norma seperti Tuhan, agama, fisika, bahkan kimia, juga sudah beroleh banyak riset? Tapi mengapa kita masih melanjutkan, bahkan mendorong, lebih banyak riset dalam topik-topik itu.
Lalu, kenapa kita tidak mendorong lebih banyak riset mengenai peristiwa historis yang sudah menjadi akar dan penyebab banyak bencana besar di kawasan (Timur Tengah) pada zaman ini? Tidakkah seharusnya ada lebih banyak riset mengenai penyebab utamanya? Itulah pertanyaan pertama saya.”
Sedang pertanyaan yang kedua adalah, jika memang peristiwa historis ini suatu kenyataan, maka publik masih perlu mempertanyakan apakah rakyat Palestina harus menanggungnya atau tidak? Bagaimanapun, peristiwa itu terjadi di Eropa. Bangsa Palestina tidak punya peran di dalamnya. Jadi kenapakah orang-orang Palestina harus terus menanggung akibat peristiwa yang tidak berkaitan dengan mereka?
Dan perihal isu nuklir Iran, Ahamdinejad mengungkapkan negaranya adalah anggota International Atomic Energy Agency (IAEA). Undang-undang IAEA dengan tegas menyatakan bahwa semua negara anggota mempunyai hak atas teknologi bahan bakar nuklir yang damai. Ini adalah pernyataan tegas dan eksplisit yang dibuat di dalam hukum. Dan hukum itu mengatakan tidak ada alasan atau dalih, bahkan pemeriksaan yang dilakukan IAEA sendiri, yang dapat mencegah negara anggota untuk memiliki hak itu.
”Tetapi sayangnya, dua atau tiga kekuatan monopolistik, kekuatan-kekuatan yang egois, ingin memaksakan pendapat mereka pada bangsa Iran sembari mengingkari hak mereka. Saya mau katakan ini pada Anda, di masa lalu, kami memiliki kontrak dengan pemerintah AS, Inggris, Prancis, Jerman, dan Kanada dalam pengembangan nuklir untuk tujuan damai. Lalu, secara sepihak, negara-negara tadi membatalkan kontrak-kontrak mereka dengan kami. Akibatnya, bangsa Iran harus membayar kerugian miliaran dolar,” tutur dia.
Ahmadinejad menambahkan, ”Untuk apa kami perlu bahan bakar dari kalian? Kalian bahkan tidak memberikan suku cadang yang kami perlukan untuk maskapai penerbangan sipil selama 28 tahun, atas nama embargo dan sanksi-sanksi lain, karena kami menentang, hak asasi manusia atau kebebasan? Dengan dalih itu pula, kalian menolak hak kami atas teknologi?
Padahal, apa yang kami inginkan ialah hak untuk menentukan nasib sendiri di masa depan. Kami ingin independen. Jangan mencampuri urusan kami. Jika kalian tidak memberikan kepada kami suku cadang pesawat terbang sipil, mengapa kami harus berharap kalian akan memberikan kepada kami bahan bakar untuk pengembangan nuklir demi tujuan damai?” musa kazhim, dosen Islamic College for Advance Studies (ICAS) Paramadina
Sumber: http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=308770&kat_id=3
0 komentar:
Posting Komentar