Haramnya Filsafat dan Bepergian Tanpa Mahram

Sabtu 22 September 2007 yang lalu, dalam sebuah kajian di sebuah Masjid di Yogyakarta yang kala itu membahas tentang keutamaan ilmu dan orang yang menuntutnya, ada beberapa hal yang menarik untuk penulis angkat pada kesempatan kali ini.

Penulis tidak akan banyak berbicara tentang hadist keutamaan penuntut ilmu yang dibahas saat itu, tapi lebih kepada 2 lontaran yang diberikan Ustadz tersebut ketika menjawab pertanyaan dari peserta kajian.

1. Berdosanya wanita yang berpergian jauh tanpa didampingi mahram.Sang penanya mengutarakan masalah “bagaimana hukumnya wanita yang berpergian untuk menuntut ilmu, sekolah atau kuliah di luar kota, dimana di kota itu dia tidak punya mahram? Serta merta sang Ustadz menjawab “haramnya hukumnya wanita yang safar tanpa ditemani mahram. Kemudian beliau mencoba untuk sedikit berkelakar dengan mencontohkan orang yang pergi pengajian ke masjid yang masih dalam kota, dengan menyatakan kalau kasus seperti tidak perlu didampingi mahram. Diakhir jawabannya ia kembali menegaskan “berdasarkan pembacaan saya terhadap karya-karya ulama, maka berdosalah wanita yang pergi jauh tanpa ditemani mahram”.

Dalam kesempatan ini saya tidak ingin mempersoalkan dalam masalah agama (karena saya tidak punya integritas di bidang ini), tapi akan lebih melihat dari sudut pandang yang lain, yang saya yakin agama tidak akan menghiraukan hal ini (karena pemahaman saya menyatakan Islam datang dengan konteks dan tidak membahas tanpa pijakan realitas social). Ada banyak pertanyaan yang muncul di pikiran saya terkait jawaban Ustadz tadi. Kalau begitu betapa banyak teman-teman perempuan yang berdosa, karena ia harus meninggalkan kampung halaman untuk kuliah di kota lain atau mungkin ke luar negeri. Banyak problem tentang masalah ini. Mulai dari, tidak universitas atau sekolah di kampong dia yang mengharuskan ia keluar kota, kualitas sekolah di luar lebih baik dari sekolah yang ada di kampungnya, sampai betapa banyak kita lihat teman-teman perempuan yang akhirnya belajar agama, mendapat hidayah ketika ia meninggalkan kotanya, padahal keberadaan ia di kota tempat ia belajar tanpa ditemani mahram. Belum lagi persoalan pemerataan pembangunan yang membuat orang dari daerah harus ke Jawa untuk kuliah atau sekolah karena dari segi kualitas dan fasilitas mumpuni jauh mumpuni.

Saya tidak tahu apakah kita harus menutup mata dengan semua ini. Dan secara berani menyatakan orang-orang seperti ini berdosa ? Atau apakah kita bisa mengklaim itu perbuatan haram (berarti dimurkai oleh Allah), tanpa menilik Maha Tahunya Allah dengan keadaan hambaNya yang mengharuskan ia harus melakukan perjalanan semacam ini. Apakah tidak baiknya kita mengkategorikan ini sebuah keadaan darurat, sehingga ada rukhsoh (keringanan).

Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah artikel di sebuah Koran daerah terbitan Yogyakarta, tentang aksi protes yang dilakukan oleh beberapa perempuan Saudi yang menentang aturan pemerintah “tidak bolehnya seorang perempuan menyetir sendiri”. Sehingga kebijakan itu membuat banyak perempuan di Saudi harus menyewa seorang sopir laki-laki (tidak tidak punya mahram yang bisa selalu mengantar). Yang jadi pertanyaan adalah apakah ini bukan sebuah kemungkaran (mungkin menurut versi aturan Saudi)? Dimana ada laki-laki yang mengantar wanita yang bukan mahramnya? Ataukah orang-orang Saudi menganggap Sopir ini tak lebih daripada budak, sehingga tak perlu khawatir akan fitnah yang akan ditimbulkan? Betapa ini sangat kontradiktif, padahal Nabi Muhammad sangat membenci perbudakan dan apakah bisa kita menyamakan status sopir dengan budak?

2. Mengenai haramnya ilmu dan belajar Filsafat

Ustadz tersebut menyebutkan haramnya filsafat dengan merujuk pada sebuah kenangan pahit di abad pertengahan saat dinasti Abbasiyah berkuasa. Beliau menyatakan betapa banyak kerusakan yang ditimbulkan filsafat dalam meracuni umat Islam termasuk juga para Ulamanya. Dan betapa banyak orang yang menjadi “gila” karena belajar filsafat.

Yang saya ketahui tentang filsafat adalah jawaban-jawaban yang diberikan oleh orang baik itu di timur atau di barat tentang masalah-masalah manusia dan realitas alam semesta sehingga diketahui apa hakikat sebenarnya dari suatu entitas dan realitas. Setahu saya, bapak-bapak yang menempuh jenjang S2 dan S3 sangat banyak muatan filsafatnya. Jika argument Ustadz tadi kita kedepankan, maka tidak akan ada Master ataupun Doktor (sehingga tidak mungkin ada Profesor) di dunia ini, di Indonesia tentu saja, kecuali Universitas yang tidak memberikan ilmu filsafat dalam kuliah-kuliahnya (apakah ada perguruan tinggi sem acam ini?).

Kedua, ketakutan yang timbul dari filsafat adalah pengaruhnya dalam merusak agama. Saya katakan apakah filsafat hanya membahas masalah agama saja. Apakah ilmu-ilmu yang lain baik itu social science ataupun natural science tidak lepas dalam landasan epistemology filsafat? Sungguh lupakah kita bahwa hegemoni ilmu yang terjadi saat ini adalah hegemoni epistemology Barat? Sehingga kalau mau konsekuen dengan pernyataan Ustadz tadi, maka semua ilmu akan menjadi haram?

Saya tidak mengerti dengan beraninya beberapa orang yang berstatus sebagai Ustadz untuk mengemukakan klaim-klaim kebenaran sepihak dengan berlandaskan pembacaan tekstual saja, tanpa sebuah penelitian lebih lanjut tentang kenyataan yang terjadi sebenarnya di lapangan. Banyak orang yang menyatakan kita harus mengikuti pola pada zaman Nabi. Tapi kehidupan Nabi dibaca dalam sebuah kesaklekan pemahaman. Menafsirkan kehidupan pada zaman Nabi begitu ketat dan penuh euphoria. Akhirnya yang timbul adalah sebuah perkataan-perkataan idealis yang akhirnya terpental dalam dunia nyata. Sehingga yang terjadi, lahirnya generasi-generasi yang hidup dalam mimpi. Ataupun ketika ia menyadari apa yang dia hadapi tidak semudah, tak seindah yang ia terima dari gambaran Ustadz yang memberikan wejangan semacam ini, maka serta merta ia akan berputar 180 derajat atau menjadi linlung dengan perkataan yang tak ia temukan dalam kehidupannya.

Akhirnya, sikap dan hal apa saja yang patut diberikan oleh seorang yang mendakwahkan agama kepada para penuntut ilmu dan orang awwam? Apakah sebuah doktrin agama yang ia pahami dan dianggapnya benar serta merta disampaikan tanpa melihat persoalan lebih dalam? Atau adanya sebuah kesadaran, bahwa ada dialektis penerapan ajaran mulia Allah yang dibawa RasulNya dengan realitas kehidupan yang dihadapi saat ini? Ini bukan berkaitan dengan perdebatan tekstualitas dan kontekstualitas saja, tapi lebih dari itu, bagaimana sebuah kebenaran dapat dibuktikan kebenarannya dengan fakta adanya rahmatan lil’alamin atas terimplementasikannya kebenaran itu.

1 komentar:

Fairuz ad Da'waa

12 Desember 2007 pukul 15.09

AsSalamualaikum.

Diantara syariat Islam, ada kemaslahatan yang mungkin hanya Allah saja yang mengetahui. Adalah Rasulullah Sallallahu alaihi wasSallam, seorang nabi terakhir yang harus kita ta'ati, yang dengan i'tiba kepadanya inshaAllah kejayaan lah yang diperoleh. Mungkin terkadang syari'at Islam terlalu keras,tidak bisa diterima akal, namun dibalik itu, Hanya Allah saja yang mengetahui. Toh, Islam, muslim artinya berserah diri. Kenapa dilarang begini minum alkohol kenapa tidak makan babi, cukup katakan 'Karena Allah memerintahkan saya untuk begitu'

Coba ingat kisah nabi khidr dengan Nabi Musa, Sesungguhnya Nabi Musa tidak mengetahui apa yang di wahyukan kepada Nabi Khidr dan beliau tidak cukup sabar untuk menunggu hikamnya. Nabi khidr membolehkan nabi Musa untuk menimba ilmu darinya ,tetapi ia tidak diizinkan untuk bertanya hingga nabi Khidr sendiri yang akan menerangkannya.
Mula mulanya Nabi Khidr melubangi papan dari perahu yang ia tumpangi, tetapi nabi Musa menegurnya. Nabi khidr membunuh seorang anak kecil, nabi Musa menegurnya lagi, dan untuk terakhir kalinya, Nabi khidr membangun sebuah tembok di suatu perkampungan yang penduduknya pelit, lalu nabi Musa menegurnya lagi untuk menyarankan mengambil upah dari situ.
Pada akhirnya, cukuplah perjumpaan mereka dan Nabi Khidr lalu menjelaskan hikmah dari apa apa yang beliau lakukan. Ia mencabut papan dari perahu yang telah memberi tumpangan kepada mereka karena dibelakang mereka ada raja yang zalim yang akan mengambil perahu secara paksa. Apabila ia melihat perahu itu cacat, tentu ia akan membiarkannya. Ada pun anak kecil yang dibunuh, orang tua nya adalah mukmin yang jikalau anak tersebut Allah biarkan dewasa, ia akan menjadi orang kafir. Demikian Allah akan menggantinya dengan anak yang lebih baik yang akan menjadi seorang mukmin sekalipun orang tuanya harus bersedih. Dan perihal dinding yang dibangun adalah anak yatim yang memilikinya. Ayah mereka menyimpan harta bagi mereka di dinding itu dan ia berdoa agar mereka dapat menemukannya setelah dewasa.”.


Mengenai hal ini, Rasulullah berkomentar : “Sekiranya saja Musa dapat bersabar, tentulah kita akan melihat banyak peristiwa yang amat menakjubkan.”

saya termasuk seorang wanita yang kuliah jauhh sekali dari rumah. Allah tidak akan membebani seseorang diluar kemampuannya ka? Saya yakin, akan ada jalan keluar dari Allah.