TRADISI ”INTELEKTUAL” DI DUNIA BARAT DAN ISLAM


Kuala Lumpur, hari ke-23 bulan September 2007. Jarum jam menunjukkan pukul
4.30 pm. Sebuah diskusi santai dan bermuatan berat sedang digelar. Suasana
nampak sejuk, manakala hujan menyelesaikan gerimis terakhirnya dan para peserta
mulai bergerak dari ruang teduhnya masing-masing. Tak ketinggalan Dr. Adi Setia,
Khalif Muammar, MA., Malki Abd. Natsir, MA., Nirwan Syafrin, MA., dan beberapa
senior INSISTS ikut menikmati ramuan ilmiah sang pemateri, Dr. Syamsuddin Arif,
seorang yang sempat singgah di Frankfurt, Jerman, untuk menempuh program doktor
keduanya. Diskusi ini megambil topik “Intelektual dan Intelektualisme:
perspektif Barat dan Islam”. Slide yang sudah dihidangkan menambah semakin
renyahnya pemateri mengurai lembar demi lembar khazanah keilmuannya. Peserta pun
nampak antusias dan takjub manakala fakta-fakta sejarah mengemuka dengan
detailnya, disertai ide-ide cemerlang mengelaborasi “intelektual” dan
“intelektualisme” dengan framework (islamic worldview) yang
disiapkan untuk membedahnya.

Intelektual Barat
Uraian tentang fakta-fakta sejarah tentang citra buruk “intelektual” mengawali
presentasi pemateri. Katanya, pada tahun 1898, seorang perwira berpangkat kapten
‘keturunan Yahudi dipecat dari dinas ketentaraan Perancis karena dicurigai
bekerja sebagai mata-mata pihak asing’. Namanya Albert Dreyfus. Kasus Dreyfus
inilah kemudian menjadikan masyarakat Prancis terbelah dua; yang membela dan
yang mengutuk. Yang mengutuk Dreyfus disebut oleh yang pertama sebagai
anti-semit atau rasis dan pembela Dreyfus disebut sebagai les intellectuels dan
déracinés oleh yang kedua. Diantara pembelanya seperti Emile Zola (1840-1902),
Emile Durkheim (1858-1917) dan Anatole France (1844-1924), sedang yang mengutuk
adalah seperti Maurice Barrés (1862-1923) dan Fedinand Brunetiére.
Nah, dari kasus inilah kemudian sebutan intelektual lebih merupakan pemburukan
dari pada sanjungan, yang berlaku tidak hanya di Perancis, tapi juga di Inggris
dan Amerika. Oleh karenanya pemateri mencibir fakta-fakta sejarahnya, mulai dari
Perancis, Inggris, Jerman, bahkan Rusia.
Ada beberapa teori intelektual yang dikemukakan pemateri. Ia memulai dengan
teori intelektual ala Julien Benda (1867-1956). Lewat buku monumentalnya, La
Trahison Des Clercs (1927), Benda memberi beberapa catatan tentang intelektual.
Diantaranya, seorang intelektual adalah pejuang kebenaran dan keadilan, tekun
dan menikmati bidang yang digelutinya, tidak ditunggangi ambisius materi dan
kepentingan sesaat, berani keluar dari sarangnya untuk memprotes ketidakadilan
dan menyuarakan kebenaran, walau mahal resikonya, dan oleh itu ia tidak takut
penjara atau hidup susah. Singkatnya, sosok-sosok semacam Socrates, Yesus, dan
Spinoza adalah profil yang sangat pas bagi Benda.
Kalau teori Benda terlihat sangat elitis, mengawang-awang, sebagaimana Edward
Said (1935-2003) dan Ernest Gellner (1925-1995) mengkritiknya, maka lain halnya
dengan seorang sosiolog Régis Debray yang lebih praktis dan dinamis. Ia membagi
tiga generasi intekletual. Pertama, 1900-1930, terdiri dari para pengajar
(teachers) yang membela Dreyfus, seperti Émile Zola, Émile Durkheim dan Anatole
France. Kedua, 1930-1960, diwakili oleh para penulis (writers; novelist,
essayist). Ketiga, dari tahun 1960-sekarang, mereka yang disebut sebagai
“Cendekiawan Selebritis”, yang suka tampil di media massa, yang punya pesona,
sensasional dan ingin terkenal dan mengabaikan standar keilmuan dan kejujuran.
Seorang Jean Francois Sirinelli pun merasakan fenomena generasi ketiga ini,
seraya ia berteriak lantang, “Faut-il sonner le glas des intellectuals?”, atau
“Apakah intelektual kini sudah tiba ajalnya?”
Lain lagi dengan pandangan Antonio Gramsci (1891-1937), yang membagi
intelektual menjadi dua macam; intelektual “tradisional” dan intelektual
“organik”. Intelektual yang pertama adalah mereka para tokoh agama, guru/dosen,
birokrat, dan seperti mereka inilah profil intelektual yang tidak membumi, hidup
dalam ilusi dan utopia. Sedangkan yang kedua adalah intelektual yang aktif,
tidak pernah diam, senantiasa berbuat sesuatu untuk masyarakatnya. Di sini
pemateri meminjam ungkapan Edward Said “always on the move, on the make”.
Karena intelektual di Barat tidak bisa lepas dari istilah intelligentsia, maka
pemateri mengajak kroscek ke negara asal pemproduksi istilah ini. Ternyata ia
berasal dari Polandia dan Russia. Di Polandia, ‘inteligentsia’ adalah para
lulusan sekolah, minimal sekolah menengah, dan yang mengerti sejarah Polandia.
Mereka ini yang disebut mature (dewasa), lebih layak memimpin dan mengelola
negara ketimbang kaum borjuis yang tidak punya idealisme dan suka korupsi.
Sementara di Russia, intelligentsia adalah orang-orang bangsawan yang
mengambil jarak dari kaum borjuis kapitalis dan merasa terpanggil untuk
memanggil bangsa. Kelompok inilah yang kemudian dijuluki ‘slavophile’ karena
merekalah yang menuntut penghapusan feodalisme dan tsarisme, menghendaki
perombakan total sistem politik, ekonomi dan sosial. Kelompok ini sempat eksis
setelah Tsar digulingkan pada revolusi Oktober 1917, setelah kemudian ditumpas
habis oleh Stalin.
Sedangkan di Inggris dan Amerika, istilah intelektual mempunyai konotasi
negatif. Bagi masyarakat Inggris, intelektual itu sebutan bagi orang-orang yang
irrasional, egois, ‘sok pintar’. Bahkan seorang sekretaris luar negeri di masa
PM Margaret Thatcher, Sir Geoffrey Howe, menyifati Salman Rushdie (penulis buku
“ayat-ayat setan”) sebagai ‘arrogant’, ‘a dangerous opportunist’, dan ‘a
multiple renegade’. Lebih jauh lagi, Paul Johnson, lewat karyanya Intellectuals
(1988), mengutuk kalangan inteletual dengan menyatakan, “no wises as mentors, or
worthier as exemplars, than the witch doctors or priest of old” atau ‘tak layak
jadi teladan.’
Melihat akar sejarahnya, maka pemateri memberikan beberapa karakter penting
intelektual di Barat. Yakni: non-committal, tak terikat dari segi ide;
independent, tak terikat dari segi aksi; non-sectarian, untuk semua golongan;
non-partisan, tidak memihak; non-conformis, pantang menyerah; rebellion,
cenderung memberontak; oppositional, menentang arus; dan dissident, berani
berbeda; resistent, menunjukkan perlawanan. Bagaimana dengan intelektual di
dalam Islam?

Intelektual Islam

Istilah “intelektual” dikenal baru-baru ini saja di dunia Islam, menurut
pemateri. Nah inilah istilah impor dari peradaban lain, seperti halnya
“falsafah”. Oleh karena itu mesin worldview Islam bermain di sini. Istilah ini,
“intelektual”, dengan konteks masyarakat Barat yang sudah disebut di atas,
tidak boleh dipindah begitu saja ke dalam Islam. Itu tidak bisa. Selama ini,
cendekiawan-cendekiawan muslim di Indonesia sangat memaksakan penggunaan istilah
itu dengan segala motifnya. Sebagai contoh, ketika muncul kasus Ahmadiyah,
tampillah pembela ahmadiyah atas nama kaum intelektual dan membela atas nama
HAM. Nah itu baru contoh kecil penggunaan istilah itu yang sangat dipaksakan.
Contoh lainnya, ketika kalangan modernis atau liberalis dengan lantangnya
menggugat otoritas Al-Quran, Hadits, ulama, dll. mereka mengatasnamakan
intelektual. Nah itu sikap yang sangat Barat dan tidak bijak serta terburu-buru
menggunakan istilah asing.
Kalau diperhatikan, ada makna universal dalam istilah intelektual, seperti
‘memperjuangkan keadilan dan kebenaran’, ‘pendirian kuat’, ‘tidak mudah terbawa
arus’, dll. Makna universal ini ada di mana-mana, tidak saja di Barat.
Masalahnya adalah ketika makna universal diterapkan ke dalam partikular. Seperti
menentang arus dalam konteks di dunia Kristen tidak akan sama kasusnya dengan
menentang arus dalam konteks di dunia Islam. Membela kebenaran dalam konteks
dunia Barat tidak sama dengan membela kebenaran dalam konteks dunia Islam.
Dengan demikian, dengan melepaskan makna partikulernya dan mengambil makna
unversalnya, maka pemateri mengajak melihat makna-makna universal itu dalam
Islam. Ternyata, kata pemateri, cendekiawan dan intelektual sejati itu dalam
Islam adalah para Nabi dan penerusnya, waratsat al-Ambiya’ (pewaris para nabi)
dan penerus risalah profetis.

Intelektual Profetik atau Diabolik
Intelektual dalam khazanah Islam mempunyai dua tipe, mengikut sejarah dan
konteks keislaman, yaitu (1) intelektual profetik; dan (2) intelektual diabolik.
Intelektual profetik adalah para nabi dan waratsat al-ambiya’, pewarisnya.
Merekalah para pembela kebenaran, sebagaimana kebenaran yang terkonsep dalam
al-Quran. Sedangkan cendekiawan diabolik adalah iblis dan para pengikutnya.
Kalau diamati lebih jauh, karakter Iblis sangat pas dengan ciri intelektual di
Barat. Ia tidak mau terikat dengan aturan Allah (non-committal, independent),
tidak mau menyerah (non-conformis), memberontak (rebellion), menentang arus
(oppositional), dll. yang menyatu dalam kata “takabbur”.
Contoh-contoh cendekiawan diabolik ini sangat banyak sekali dalam sejarah.
Sepeti Kan’an putra nabi Nuh yang menolak naik ke atas perahu, Haman sebagai the
intellectual in the service of tyrant, Fir’aun, Musa Samiri sebagai cendikiawan
yang membuat tuhan dari patung lembu, kaum kuffar dari ahlu kitab di zaman Nabi
Muhammad sebagai para-pakar yang kafir, dan lain sebagainya.
Sendangkan contoh cendekiawan profetik adalah seperti para nabi, sahabat,
ulama. Dari para nabi sebut saja Nabi Ibrahim yang menentang kuasa Namrudz. Nabi
Luth juga intelektual yang menentang arus kaumnya yang masyoritas lesbi dan guy.
Dari kalangan sahabat, Abu Darda’ disebut sebagai intelektual yang berani
mengatakan kebenaran dengan lantang di depan Muawiyah, penguasa waktu itu. Dari
kalangan ulama, seperti Hasan al-Basri, Imam Syafii, Ibnu Taimiyah, Imam Ahmad
bin Hambal, dll, dan di Indonesi seperti HAMKA, Syeh Yusuf Al-Makasari, Mohammad
Natsir, di mana mereka berani mengeraskan suara kebenaran dan merelakan resiko
yang terus mengancam.
Dari uraian di atas, inteletual dalam Islam cukup dikenali dengan tiga
cirinya. Pertama, ia tidak ada rasa takut menyuarakan kebenaran (la khaufun
alaihim wa la hum yahzanun). Kedua, tidak ditunggangi kepentingan-kepentingan
pribadi, kelompok, partai dan lain-lain (la yas alukum alaihi ajran wahum
muhtadun). Ia hanya ditunggangi kepentingan misi Tuhannya. Ketiga, ia adalah
agent of change/agen perubahan, dan bukan subject of change/yang dirubah oleh
lingkungannya.

Wallahu a’lam,

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/insistnet/messages

0 komentar: