Kehidupan memaksa kita untuk mengadakan pilihan, mengukur sesuatu dari segi lebih baik atau lebih jelek dan untuk member formulasi tentang ukuran nilai. Kita memuji atau mencela, mengatakan bahwa suatu tindakan itu benar atau salah dan menyatakan pemandangan di muka kita itu “indah” atau “buruk”. Setiap individu mempunyai perasaan tentang nilai. Jika kita tidak melakukan pilihan kita sendiri, maka waktu atau teman-teman kita atau kekuatan-kekuatan luar lainnya akan menetapkan pilihan itu untuk kita, dan ini berarti penetapan kita juga. Oleh karena itu, maka soalnya bukan apakah kita harus atau tidak perlu mempunyai ukuran, keyakinan, kesetiaan atau idealism yang atas dasar-dasarnya kita mengatur kehidupan. Soalnya adalah apakah ukuran-ukuran tersebut harus konsisten atau tidak konsisten, harus mengembangkan kehidupan atau merusaknya. Menganggap sepi peran nilai berarti mempunyai gambaran yang keliru atau dari segi tentang manusia dan alam. Kebanyakan orang suka melihat kesopanan, keadilan, cinta dan pengabdian untuk tambahnya kebenaran serta berkurangnya kekejaman, kezaliman, kebencian, keburukan dan kepalsuan (Titus, 1984).
Pada kesempatan ini penulis akan membahas persoalan nilai ini dengan mengambil perspektif Bertrand Russel, seorang filsuf brilian. Dia hidup di tengah kecamuk perang dunia pertama dan kedua, perang dingin, dan merasakan pertempuran nilai pada abad XX. Situasi psikologis ini menjadikan pemikiran Bertrand Russel layak untuk kita kaji, karena begitu erat relevansinya dengan kehidupan kita pada awal dasawarsa abad XXI ini.
Tugas filsafat adalah memberikan pertimbangan dan kritik teoritis atas suatu pandangan/hal. Ada perbedaan mendasar antara filsafat dengan psikologi (Mudhofir, 2005). Meskipun demikian, ketika membahas pemikiran seorang filsuf, kita tidak bisa melepaskan diri dari aspek-aspek psikologis-sosiologis yang melatarbelakangi kehidupan sang filsuf. Oleh karena itu, sebelum memulai pembahasan inti makalah ini (sebagaimana yang tersirat di judul makalah), penulis akan menyajikan secara ringkas profil dari Bertrand Russel.
Profil Bertrand Russel
Profil Bertrand Russel yang penulis sampaikan pada sub bab ini, dikutip dari kata pengantar yang sampaikan oleh Michael Ruse, dalam pendahuluan buku Religion dan Sains, karangan Bertrand Russel. Berikut akan diulas secara singkat kehidupan filsuf sekaligus matematikawan Inggris ini.
Bertrand Arthur William Russel, cucu dari negarawan Victorian Lord John Russel, dilahirkan di Inggris pada 1872. Setelah dididik secara privat pada masa kanak-kanak, Russel kemudian dikirim sebagai mahasiswa di Cambridge University untuk belajar matematika. Selama dua puluh tahun berikutnya, Russel bekerja secara intens dalam pelbagai kajian filosofis; meskipun, mengingat dia selalu terdorong oleh keprihatinan-keprihatinan sosial yang bersifat massif, ketertarikannya selalu saja melampaui penyelidikan-penyelidikan akademik yang sempit.
Selama Perang Dunia Pertama, Russel menjadi terkenal karena pasifisme (paham yang menentang penggunaan kekuatan dan kekerasan dalam kondisi apa pun; utamanya penentangan terhadap alasan-alasan yang membenarkan seseorang terlibat dalam perang bersenjata) yang terang-terangan dan pada akhirnya, mengakibatkan dirinya mendapatkan hukuman penjara selama enam bulan. Setelah perang selesai, aktivitas-aktivitas Russel menjadi semakin radikal dan terkenal. Yang paling penting adalah pendirian sebuah sekolah progresif, sekolah yang dimaksudkan untuk memberikan kemerdekaan yang genuine kepada anak-anak dan menghindarkan mereka dari pelbagai represi pendidikan konvensional. Pada saat yang bersamaan, Russel melakukan pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan keluarganya dengan menulis serangkaian tulisan-tulisan popular.
Perang Dunia Kedua mendapatkan Russel, yang mewarisi kebangsawanan keluarga pada 1931, lagi-lagi berada dalam kesulitan, setelah jabatannya sebagai dosen di City College of New York disangkal karena alasan-alasan non ortodoksinya (unorthooxy) yang berbahaya. Kemudian, untuk sementara, dia memasuki kehidupan yang lebih tenang. Kejeniusannya diakui, dia diberi penghargaan warga Negara sipil paling terhormat di Inggris, “Order of Merit”, dan juga mendapatkan Hadiah Nobel di bidang sastra. Tetapi, yang kontroversial hingga akhir, dasawarsa-dasawarsa terakhir kehidupan Russel dihabiskan untuk mengutuk kejahatan-kejahatan senjata nuklir dan juga protes-protes yang mendapatkan banyak publikasi melawan keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Dia meninggal dalam usia yang sangat tua pada 1970, di Wales, dalam keadaan bahagia atas dukungan teman-teman, keluarga, dan istrinya yang keempat.
Setelah mengetehui secara umum biogarfi Russel penulis akan masuk pada bahasan nilai yang menjadi focus kajian makalah ini. karena begitu luasnya cakupan pembahasan tentang nilai (begitupun juga banyak tema-tema nilai yang dibicarakan oleh Russel), maka penulis membatasi diri pada dua persoalan utama yaitu:
1.Sains dan Agama
2.Sains dan Etika
1.Sains and Agama
Teori Russel mengenai nilai dikemukakannya terutama dalam karyanya yang fenomenal “Religion and Science” (Agama dan Ilmu). Karya ini pertama kali diterbitkan pada 1935, mengalami cetak ulang selama lebih dari dua puluh empat kali. Russel memandang sains sebagai upaya untuk memahami dunia pengalaman melalui hukum yang tak terputus-putus (unbroken law), dan agama baginya, merupakan sebuah fenomena kompleks dengan klaim-klaim (kredo) mengenai hal-hal yang dianggap mutlak (Frondizi, 2001)
Dalam melihat persinggungan agama dan sains, Russel bisa kita tempatkan pada posisi pendukung “tesis konflik” yang sangat bersemangat (dalam diskursus hubungan agama kita mendapatkan kategorisasi yang baik sekali oleh Ian Harbour ). Baginya, agama dan sains telah lama terlibat dalam perang, dengan mengklaim teritori, gagasan-gagasan, dan kesetiaan-kesetiaan yang sama untuk mereka masing-masing. Perang ini telah dimenangkan oleh sains secara menyakinkan. Dengan matinya agama, maka hilanglah takhayul, penindasan dan kebencian. Dengan keberhasilan sains, datanglah pemahaman dan kebebasan serta cinta kasih.
“Sebagian konflik-konflik yang lebih menonjol antara para teolog dan para ilmuan selama empat abad terakhir, dan kita telah berusaha menilai hubungan antara sains masa-sekarang dengan teologi masa-sekarang. Kita telah melihat bahwa, dalam periode semenjak Kopernikus, kapan saja sains dan teologi mengalami ketidaksepakatan, sains terbukti menang. Kita juga telah melihat bahwa, di mana persoalan-persoalan praktis dilibatkan, seperti dalam perdukunan dan pengobatan, sains berhasil mempertahankan usaha mengurangi penderitaan manusia, sementara teologi telah mendorong kekejaman alami manusia. Penyebaran pandangan ilmiah, sebagaimana dipertentangkan dalam pandangan teologis, tak dapat disangkal selama ini telah berguna bagi kebahagiaan manusia.” (Russel, 2005).
2. Sains dan Etika
Russel berpendapat bahwa nilai berada di luar ilmu. Baginya dua hal ini memiliki wilayah yang berbeda. Dia mengatakan:
“Persoalan yang mengacu pada nilai berada di luar ilmu, bukan karena persoalan tersebut bersentuhan dengan filsafat, melainkan karena “persoalan nilai sama sekali terletak di luar ranah pengetahuan”. Ketika kita mengatakan bahwa sesuatu itu memiliki nilai, kita tidak menyatakan suatu fakta yang bebas dari perasan pribadi kita; malahan kita memberikan ungkapan atas emosi kita sendiri.” (Russel, 2005).
“Sains seharusnya bersifat netral, karena argumen tersebut merupakan argument ilmiah, harus dilakukan secara tepat sebagai sebuah argumen yang akan dilakukan dengan sebuah eksperimen tak pasti. Sains bergantung pada persepsi dan kesimpulan; krediblitasnya diperoleh karena fakta bahwa persepsi-persepsi semacam itu dapat diuji oleh setiap pengamat.” (Russel, 2005).
Tentu saja argument Russel ini mendapat perlawanan dari etikawan dan para mistiskus (kaum agamawan). Namun, dengan sangat jitu Russel memberikan jawaban:
“Mereka yang mempertahankan ketidakcukupan sains, menuntun pada fakta bahwa sains tidak memiliki apapun yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang nilai-nilai. Ini saya akui; tetapi jika disimpulkan bahwa etika mengandung kebenaran-kebenaran yang tidak dapat dibuktikan atau disangkal oleh sains, saya tidak sepakat.” (Russel, 2005).
“Kajian tentang etika, secara tradisional terdiri dari dua bagian, satu bagian berkaitan dengan aturan-aturan moral, bagian yang lainberkaitan dengan apa yang baik dalam dirinya sendiri. Aturan-aturan tingkah laku, banyak di antaranya memiliki asal-muasal ritual, memainkan bagian terbesar dalam kehidupan orang liar dan orang-orang primitive. Aturan-aturan moral yang lain, semisal larangan untuk membunuh dan mencuri, memiliki kegunaan sosial yang lebih jelas. Ketika manusia menjadi reflektif, terdapat kecendrungan untuk memberikan lebih sedikit penekanan terhadap aturan-aturan dan lebih banyak penekanan pada cara berpikir (state of mind).” (Russel, 2005).
Hal ini memunculkan pertanyaan, kalau memang demikian, apakah yang bisa kita jadikan sebagai patokan bagi nilai? Russel kemudian melanjutkan penjelasannya terkait dengan tawaran “pertimbangan hati nurani”:
“Kepercayaan terhadap hati nurani memiliki arti khusus dalam etika Protestan. Ada anggapan bahwa Tuhan mewahyukan kepada tiap-tiap manusia apa yang benar dan apa yang salah, sedimikian rupa sehingga, agar dapat menghindari dosa, kita benar-benar harus mendengarkan suara batin kita.” (Russel, 2005)
“Terdapat dua kesulitan yang berbeda dalam teori ini (hati nurani): pertama, bahwa hati nurani mengatakan hal yang berbeda terhadap orang-orang yang berbeda; kedua, member kita pemahaman mengenai sebab-sebab duniawi dari pelbagai perasaan yang berkaitan dengan hati nurani.” (Russel, 2005).
“Adalah hal alami jika kita menisbatkan perasaan-perasaan tersebut dengan suara Tuhan dalam hati kita. Tetapi pada kenyataannya hati-nurani merupakan produk dari pendidikan, dan dapat dilatih untuk merestui atau mencela, dalam sebagian besar umat manusia, ketika mungkin dianggap sesuai oleh para pendidiknya.” (Russel, 2005).
“Oleh karenanya, sementara benar jika kita ingin membebaskan etika dari aturan-aturan moral eksternal, ini tidak dapat dicapai secara memuaskan dengan menggunakan gagasan tentang “hati-nurani”.” (Russel, 2005).
Pendekatan hati nurani ini, sangat sering kita temui dalam metode penyadaran agamis dewasa ini. ada Manajemen Qalbu (Abdullah Gymnastiar), ESQ (Ary Ginanjar), Wisata Hati (Yusuf Mansur), Dzikir (Muhammad Arifin Ilham), dan yang lainnya. Dalam kenyataannya, kita melihat tidak ada perubahan signifikan atas metode-metode tersebut. Meskipun telah banyak pejabat yang detraining ESQ, tetap saja tingkat korupsi masih tinggi. Merujuk pada amat “kabur” nya pengertian hati nurani, tidak salah jika Bertrand Russel tidak sepakat melandasi etika dengan pertimbangan “hati nurani”.
Kemudian, Russel mengambarkan kepada kita bentuk rasional lainnya untuk pertimbangan nilai tentang apa yang dikatakan sebagai “Kebaikan”:
“Kita memiliki pemahaman yang berbeda di mana sebuah tindakan mungkin dapat diperintahkan secara etik: (1) ia mungkin sesuai dengan aturan moral yang diterima masyarakat; (2) ia mungkin dimaksudkan secara tulus agar memiliki efek-efek yang baik; (3) ia mungkin pada kenyataannya memiliki efek-efek yang baik.” (Russel, 2005).
“Para filosof telah membentuk konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang Kebaikan. Sebagian berkeyakinan bahwa ia berada dalam pengetahuan dan cinta akan Tuhan; sebagian lagi dalam cinta universal; yang lainnya lagi dalam kesenangan.” (Russel, 2005).
“Ketika kita mengatakan bahwa ini atau itu adalah “Kebaikan”, kita mendapatkan diri kita sendiriterlibat dalam kesulitan yang sangat besar. Dalam persoalan ilmiah, bukti dapat dikemukan pada kedua pihak, dan pada akhirnya ada satu pihak yang tampak memiliki alasan yang lebih baik, atau jika ini tidak terjadi, persoalan tersebut tetap dibiarkan tak-terselesaikan. Tetapi dalam pertanyaan yang berkaitan dengan apakah ini atau itu merupakan Kebaikan tertinggi, tidak ada bukti apa pun; masing-masing pendebat hanya dapat menyerukan emosi-emosinya sendiri, dan menggunakan alat-alat retorik ini sebagai karang-karangan yang memunculkan emosi-emosi yang sama pada pihak lain.” (Russel, 2005).
“Seluruh gagasan tentang baik dan buruk memiliki hubungan tertentu dengan hasrat. Prima facie, segala hal yang kita dambakan adalah “baik” dan segala hal yang kita takutkan adalah “buruk”. Jika kita semua sepakat dengan hasrat-hasrat kita, masalah tersebut dapat ditinggalkan di sana, tetapi sayangnya hasrat-hasrat kita saling bertentangan.” (Russel, 2005).
Ketika meletakan patokan etika pada masing-masing individu, Russel menyatakan kita terjebak pada relavitas antara satu orang dengan orang lain. Etika yang diupayakan banyak filsuf adalah etika yang objketif. Tapi Russel meragukan akan hal ini, sebagaimana perkataannya: “Etika merupakan sebuah upaya-meskipun bukan menurut hemat saya, usaha yang berhasil-untuk menghindari diri dari subjektivitas ini.” (Russel, 2005).
“Etika terkait erat dengan politik: ia merupakan sebuah upaya untuk menyampaikan pelbagai hasrat kolektif dari suatu kelompok untuk mempengaruhi individu-individu; atau sebaliknya, ia merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh seorang individu yang menjadikan keinginannya sebagai keinginan kelompoknya. Yang kemudian tentu saja hanya mungkin, jika hasrat-hasratnya tidak terlalu jelas bertentangan dengan kepentingan umum…. Oleh karenanya , filosof yang menilai Kebenaran, Kebaikan dan Keindahan, tampaknya, menurut hemat saya, tidak hanya sedang mengekspresikan hasrat-hasratnya sendiri, tetapi menunjukkan jalan menuju kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Tidak seperti seorang maling, dia mampu mempercayai hasrat-hasratnya adalah demi sesuatu yang memiliki niali dalam pengertian impersonal. Etika merupakan sebuah upaya untuk memberikan arti penting universal, dan bukan hanya personal, terhadap hasrat-hasrat tertentu yang kita miliki.” (Russel, 2005).
Kemudian Russel membuktikan bagaimana sangat rentannya pengklaiman “atas nama Kebaikan bersama” dan “atas nama Tuhan”, diselewengkan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan sangat erat dengan masyarakat. Dia mencoba memberikan contoh kasus Pembuat undang-undang dan Juru Dakwah:
“Agar tampak memberikan arti-penting universal bagi hasrat-hasrat kita-yang merupakan persoalan etika- mungkin dapat diupayakan dari dua sudut pandang, sudut pandang pembuat undang-undang, dan sudut pandang juru dakwah.” (Russel, 2005).
“Saya akan mengasumsikan, demi mendukung argument tersebut, bahwa sang pembuat undang-undang memiliki kepentingan pribadi. Ketika dia mengakui salah satu hasratnya sebagai hanya berkaitan dengan kesejahteraannya sendiri, dia tidak akan membiarkannya mempengaruhinya dalam membuat rancangan undang-undang. Tetapi, dia memiliki hasrat-hasrat lain yang tampaknya impersonal bagi dia. Kemudian, dia akan, jika dia bisa, mengonstruksi aturan ini sedemikian rupa sehingga aturan yang dihasilkannya dapat mempromosikan tujuan-tujuan yang dia nilai akan, sejauh itu mungkin, sesuai dengan aturan yang kepentingan pribadinya; dan dia akan menegakkan sebuah system instruksi moral yang akan, dimana ia berhasil, menjadikan perasaan orang-orang bersalah jika mereka mengejar tujuan-tujuan lain selain tujuan tersebut. Metode yang dia miliki adalah berusaha memunculkan hasrat-hasrat yang sama dalam diri orang lain yang dia rasakan sendiri, dan untuk tujuan ini dia harus mampu menyentuh emosi-emosi mereka. Setiap upaya untuk membujuk orang-orang dalam bahwa sesuatu itu baik (atau buruk) dalam dirinya sendiri, dan bukan hanya pada efek-efeknya, tergantung pada seni memunculkan perasaan bukan pada pengajuan bukti tertentu. Dalam setiap kasus keterampilan, juru dakwah mampu menciptakan emosi-emosi orang lain yang sama dengan emosinya-atau tidak sama, jika dia seorang munafik.” (Russel, 2005).
Untuk melihat bagaimana etika bisa objektif (yang hal ini diragukan sendiri oleh Russel), kita bisa menganalisis dari“pernyataan-pernyataan bernilai” berikut ini:
“Ketika seseorang mengatakan “ini baik dalam dirinya sendiri”, tampaknya dia sedang membuat sebuah pernyataan yang sama ketika dia mengatakan “ini adalah kubus” atau “ini rasanya manis”. Saya menyakini ini sebagai sebuah kekeliruan. Saya menganggap bahwa apa yang sebenarnya dimaksudkan orang tersebut adalah: “Saya menginginkan setiap orang menginginkan ini”, atau bahkan” Akankah setiap orang menginginkan ini”. jika yang dikatakannya diinterpretasikan sebagai sebuah pernyataan, ia sekadar merupakan peneguhan atas keinginan pribadi sendiri; jika, di sisi lain, diinterpretasikan dengan cara umum, ia tidak menyatakan apa pun, tetapi sekadar menginginkan sesuatu. Keinginan tersebut, sebagai sebuah kejadian, bersifat personal, tetapi apa yang diinginkannya bersifat universal. Menurut hemat saya, itu merupakan kesalinghubungan yang aneh antara yang particular dan universal yang telah menyebabkan demikian banyak kebinggungan dalam bidang etika.” (Russel, 2005).
“Jika saya mengatakan “Semua orang Cina beragama Buddha”, saya dapat disangkal dengan adanya seorang Cina yang Kristiani atau Muslim. Jika saya mengatakan “Saya percaya bahwa semua orang Cina beragama Buddha”, saya tidak dapat disangkal oleh bukti apapun dari apa yang saya katakan. Jika, sekarang, seorang filosof mengatakan “Keindahan itu baik”, saya mungkin menginterpretasikannya sebagai bermaksud “Bukankah setiap orang mencintai keindahan”.” (Russel, 2005).
“Kalimat pertama dari kalimat-kalimat ini tidak membuat penegasan apapun, tetapi mengekspresikan sebuah keinginan, karena ia tidak meneguhkan apapun, secara logis tidak mungkin bahwa harus ada bukti yang digunakan untuk mendukung atau melawannya, atau karena ia harus memiliki kebenaran dan kesalahan kesalahan sekaligus. Kalimat kedua, alih-alih sekadar merupakan pilihan, benar-benar mengungkapkan pernyataan tertentu, tetapi itu adalah pernyataan tentang keadaan pikiran sang filosof, dan ia hanya dapat disangkal dengan bukti bahwa ia tidak memiliki keinginan untuk mengatakan apa yang telah dia katakana. Kalimat kedua ini bukan merupakan wilayah etika, tetapi wilayah psikologi atau biografi. Kalimat pertama, yang benar-benar merupakan bagian etika, mengekspresikan sebuah hasrat akan sesuatu, tetapi tidak menegaskan apa pun.” (Russel, 2005).
Sampailah kita pada perdebatan apakah etika terkait dengan pernyataan benar atau salah dan posisi sains dalam hal ini. Russel menyatakan:
“Etika, tidak mengandung pernyataan, baik benar maupun salah, tetapi terdiri dari pelbagai hasrat dari jenis umum tertentu, yaitu semacam keinginan yang terkait dengan hasrat-hasrat umat manusia pada umumnya-dan hasrat para dewa, para malaikat, para iblis, jika mereka eksis.” (Russel, 2005).
“Sains dapat mendiskusikan sebab-sebab munculnya hasrat, dan cara-cara untuk merealisasikannya, tetapi sains tidak dapat memuat kalimat etis yang genuine, karena ia berkaitan dengan apa yang benar atau salah.” (Russel, 2005).
Setelah panjang lebar memberikan bantahan terhadap Mistikus/Agamawan, dan Etikawan Objektivisme, Russel menyatakan kecendrungannya pada sikap “subjektif” dan memproklamirkan diri sebagai pendukung “subjektivitas” dalam nilai:
“Teori yang saya dukung di atas merupakan salah satu bentuk dari doktrin yang disebut dengan “subjektivitas” nilai-nilai. Doktrin ini terdiri dari upaya mempertahankan bahwa, jika dua manusia memiliki perbedaan nilai-nilai, meskipun tidak ada ketidaksepakatan berkaitan dengan jenis kebenaran apapun, tetapi perbedaan dapat disimpulkan dari fakta bahwa mereka adalah seperti mereka adanya.” (Russel, 2005).
“Terdapat konsekuensi-konsekuensi tertentu dari doktrin tentang nilai-nilai subjektif, dimana yang paling penting adalah penolakan terhadap hukuman balas dendam (vindictive punishment) dan gagasan tentang “dosa”. Tetapi konsekuensi-konsekuensi lebih umum yang ditakuti, harus dideduksi secara logis. Kewajiban moral, jika ia harus mempengaruhi perilaku, harus terdiri bukan hanya dari kepercayaan tertentu, tetapi juga hasrat tertentu.” (Russel, 2005).
“Ketika kita menganalisis hasrat menjadi “baik”, ia secara umum mengubah dirinya menjadi hasrat untuk diakui, atau, sebagai kemungkinan lain, untuk bertindak sedemikian rupa sehingga mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi umum yang kita inginkan.” (Russel, 2005).
Meskipun Russel membela subjektivitas tapi ia tidak mau terjebak dalam relavitas yang hanya membuat manusia terombang-ambing dalam pertimbangan terhadap nilai-nilai. Ia kemudian menawarkan tentang hasrat mulia yang diinginkan oleh setiap orang dengan dukungan rasionalitas, intelegensi, dan kebahagiaan bagi umat manusia:
“Ketika kita merenungkan umat manusia, kita mungkin menginginkan bahwa ia seharusnya bahagia, atau sehat, atau cerdas, atau menyukai-perang, dan seterusnya. Setiap keinginan ini, jika memang kuat, akan memproduksi moralitasnya sendiri; tetapi jika kita tidak memiliki keinginan-keinginan umum semacam ini, perilaku kita, apapun mungkin etika yang kita miliki, hanya akan melayani tujuan-tujuan sosial sejauh kepentingan pribadi dan kepentingan-kepentingan masyarakat dapat selaras. Adalah tanggung jawab institusi-institusi yang bijak untuk menciptakan keselarasan semacam ini sejauh itu dimungkinkan, dan untuk yang lainnya, apapun mungkin definisi teoritik kita tentang nilai, kita harus bergantung pada eksistensi hasrat-hasrat impersonal.” (Russel, 2005).
“Seluruh sistem etika mewujudkan pelbagai keinginan dari mereka yang mendukungnya, tetapi fakta ini disembunyikan dalam kabur kata-kata. Pada kenyataannya, keinginan-keinginan kita lebih bersifat umum dan tidak melulu mementingkan diri sendiri daripada yang dibayangkan oleh kaum moralis; jika tidak semikian, tidak ada teori tentang etika yang memungkinkan terjadinya kemajuan moral. Pada kenyataannya, ia tidak dicapai melalui teori etika, tetapi dengan peningkatan hasrat-hasrat yang besar dan mulia melalui intelijensi, kebahagiaan, kebebasan dari ketakutan, sehingga manusia dapat dibawa untuk bertindak lebih daripada yang mereka lakukan saat ini dengan cara yang konsisten dengan kebahagiaan umat manusia secara umum.” (Russel, 2005).
Tesis akhir Russel tentang landasan bagi setiap teori etika dan nilai adalah apapun yang akan dilakukan dan dipilih, satu hal yang mesti tetap dipegang adalah pencapaian kebahagiaan umat manusia:
“Apa pun definisi kita tentang “Kebaikan” dan apakah kita mempercayainya sebagai subjektif atau objektif, mereka yang tidak menginginkan kebahagiaan umat manusia tidak akan melakukan upaya melanjutkannya, sementara mereka yang benar-benar menginginkannya akan melakukan apa pun yang dapat mereka lakukan untuk mewujudkannya.” (Russel, 2005).
Sains bagi Russel tidak dapat memutuskan persoalan nilai, karena ia berjalan dengan aturan yang unik (metode-metode ilmiah) demi kemajuan sains itu sendiri. Sangat riskan untuk memasukan nilai dalam kerangka kerja internnya:
“Saya menyimpulkan bahwa, benar bahwa sains tidak dapat memutuskan persoalan-persoalan nilai, itu semata-mata disebabkan karena persoalan-persoalan tersebut tidak dapat diputuskan secara intelektual sama sekali, dan berada di luar wilayah kebenaran dan kepalsuan. Pengetahuan apapun yang dapat dicapai, harus dicapai melalui metode-metode ilmiah; dan apa yang tidak dapat ditemukan sains, umat manusia tidak dapat mengetahuinya.” (Russel, 2005).
Penutup
Penulis melihat, Russel masih terbawa arus utama keadaan sosio-psikologis masyarakat Barat yang trauma dengan dominasi agama (gereja) yang telah secara otoritatif radikal memaksakan setiap dokrin gereja berlaku pada setiap orang. Penyelidikan ilmuan (yang kebanyakan juga para Pastor), banyak menghasilkan kesimpulan dan teori yang bertolak belakang dengan doktrin gereja, mengantarkan mereka ke akhir kehidupan yang tragis (beberapa ilmuan selamat karena mereka tidak mempublikasikan hasil penelitiannya selama masih hidup). Inkuisi adalah tindakan sadis gereja yang merasa terdesak secara telak oleh kiprah para ilmuan. Alat pengebor (maaf) vagina, pencabut (maaf) payudara, pemotong kepala, menguliti kulit, dan pembelah manusia menjadi dua bagian, adalah sebagian instrumen gereja untuk menghukum orang-orang (terutama ilmuan dan wanita yang ditudh sebagai tukang sihir) yang dianggap “kafir” dari ajaran agama (Kristen).
Rasa traumatik atas kekejaman atas agama (Kristen), sangat terlihat dalam bab-bab awal Religion and Science, yang ditulis Russel dengan sangat antusias, membuktikan pertempuran agama dan sains, yang menurutnya dimenangkan oleh sains secara mutlak.
Pembahasan tentang nilai oleh Bertrand Russel, membawa kita pada kejelasan tentang pertimbangan pengetahuan atau perasaan yang akan kita jadikan sebagai acuan dalam memilih nilai, yang pada akhirnya menjadi landasan kita dalam bertindak dan berbuat. Walaupun kita dapat membedakan antara pertimbangan fakta (wilayah sains) dan pertimbangan nilai, namun kita tak dapat memisahkan antara keduanya secara sempurna dalam realitas keseharian (Titus,1984). Terdapat tarik-menarik saling mempengaruhi antara keduanya.
Pertimbangan nilai mungkin dianggap sebagai ekspresi tentang perasaan atau keinginan seseorang, yang bersifat subjektif (emosi, rasa cocok atau tidak cocok, kepuasan hasrat/hajat) (Titus,1984). Tapi kita tidak bisa membiarkannya berhenti pada titik itu. Karena masing-masing orang memiliki keinginan, emosi dan hasrat yang berbeda. Akan sangat riskan membiarkan itu bergulir tak menentu. Sebagaimana Russel telah memberitahu kepada kita, maka setiap pertimbangan nilai, apapun itu, hendaklah meletakkannya dalam sebuah tujuan tertinggi “demi kebahagiaan umat manusia”.
Daftar Pustaka
Frondizi, Risieri. 2001. Pengantar Filsafat Nilai. Terjemahan oleh: Cuk Ananta Wijaya. Pustaka Pelajar; Yogyakarta.
Mudhofir, Ali, dan Heri Santoso. 2007. Asas Berfilsafat. Pustaka Rasmedia; Yogyakarta.
Russel, Bertrand. 2005. Perjumpaan Sains-Agama dan Cita-Cita Politik. Terjemahan oleh Ruslani. Penerbit Ufuk; Jakarta.
Titus, Harold, dkk. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Terjemahan oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Penerbit Bulan Bintang; Jakarta.
1 komentar:
15 April 2008 pukul 17.40
Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the Aluguel de Computadores, I hope you enjoy. The address is http://aluguel-de-computadores.blogspot.com. A hug.
Posting Komentar