DARI PARADIGMA MENUJU KE MUATAN LOKAL KURIKULUM*

Intisari
Tulisan ini mengungkapkan potensi dasar yang dimiliki orang Minang yang selama ini terabaikan. Potensi dasar ini bila dikelola dengan baik melalui pendidikan yang berbasis local, kelak dapat diharapkan mengangkat kembali keunggulan SDM orang Minang di kancah nasional. Tiga potensi dasar itu adalah pendidikan yang menekankan pada bidang agama, sastra, dan filsafat.
Pendahuluan
Pendidikan pada awalnya berangkat dari konsep yang sederhana. Islam mengajarkan manusia belajar seumur hidup, selama hayat dikandung badan. Ini berarti pendidikan dapat dijalani melalui guru (individu atau institusi), atau otodidak (mandiri), dan terus-menerus mencermati fenomena alam dan sosial. Falsafah orang Minang, alam takambang jadi guru**, berorientasi pada makna manusia mencari ilmu sepanjang alam masih ada. Makna ini sangat dalam, guru adalah alam, bukan person atau institusi.
Bila pendidikan sudah dijadikan suatu legitimasi, komersialisasi, aroganisasi institusi, proyek nasional, dan sebagainya; maka carut-marut pendidikan bermunculan. Ijazah pasca-sarjana dijadikan simbul peningkatan status dalam masyarakat, maka tak heran ijazah palsu atau yang dapat dibeli, seperti: MM, MBA, dan DR (HC) mudah diperoleh tanpa melalui proses studi atau kualitas orang yang dianugerahi. PTN sudah antrian untuk diusulkan menjadi BHMN. Paradigm suatu keilmuan di PT yang sudah menjadi ciri khasnya (aliran mazhab pemikiran tertentu) tidak dapat dikritisi. Ujian Nasional (UNAS) telah menjadi proyek bagi birokrat di tingkat atas hingga bawah, percetakan, dan aparat keamanan. Inilah yang diantaranya wajah-wajah bopeng pendidikan nasional kita.
Di tingkat kebijakan pemerintah, sesuatu yang dianggap dapat menyelesaikan masalah, malah meninggalkan sederetan masalah yang beranak-pinak. Sertifikasi guru dan UN dimaksudkan untuk mencari solusi meningkatkan mutu pendidikan, malah menimbulkan problem baru: menekan pihak guru dan ketakutan bagi anak didik. Ini hanya sekilas potret carut-marut pendidikan kita pada dataran teknis dan kebijakan pemerintah. Untuk sementara tetap merupakan problem tak terselesaikan, sepertinya, siapapun menterinya. Beralih membicarakan pendidikan pada tataran paradigm dalam masyarakat, mungkin masih menyisakan secercah harapan mengurangi carut-marut tersebut dengan sedikit kesegaran pemikiran.
Paradigma Amerika Serikat
Bangsa atau etnis yang mempunyai karakter kuat selalu menghasilkan orang-orang pioneer di eranya. Karakter yang kuat merupakan paradigm masyarakat yang selalu ditopang oleh pendidikan dan semangat ilmu pengetahuan di dalamnya. Masyarakat Islam sebelum abad pertengahan telah mengalami zaman gemilang karena ilmu pengetahuan dan pendidikan (Universitas). Hal yang sama juga dicapai bangsa-bangsa di daratan Eropa dan Inggris, pada masa pencerahan, setelah kegemilangan di Timur (Arab) meredup. Sekarang, Amerika Serikat menjadi hegemoni di duniam, yang merebut segala kesempatan melalui kompetisi yang ketat, salah satu karena pencerahan masyarakatnya, yakni memaksimalkan potensi masyarakat melalui pendidikan.
Pendidikan dasar dan menengah di Amerika Serika hanya menekankan tiga pelajaran untuk menghasilkan bangsa yang mempunyai karakter kuat untuk kompetisi dan optimis, yakni: sejarah, matematika dan bahasa.
Pelajaran sejarah difokuskan pada periode kolonial ( ..-1776) dan revolusi Amerika (1776-1784), yakni perubahan Dunia lama dan Dunia baru (Kammen, 1985: 9-15); serta Perang Saudara antara Utara dan Sejarah (1861-1865) selama pembebasan perbudakan. Periode sejarah ini merupakan proses penggabungan Negara-negara bagian ke dalam federasi yang seringkali bertentangan. Sejarah hanya diajarkan pada makna perubahan, bukan pada hero (founding father). Person hanya titik kecil dalam sejarah, bukan yang mengubah sejarah. Pendidikan sejarah mampu membentuk identitas (menjadi) Amerika, dikenal dengan slogan I am proud to be American, tanpa menafikan kelompok/etnis atau mengaburkan asal usul leluhur.
Pelajaran matematika di Amerika pada tingkat sekolah dasar dan menengah bersifat having fun, mengasah penalaran dan logika dan mendorong orang berpikiran kritis. Pelajaran dirancang untuk tidak menimbulkan ketakutan bagi anak didik, tetapi diramu sebagian dengan cara bermain. Matematika di Negara kita jauh lebih padat materi dan rumit, sehingga menjadi sosok yang menakutkan; lebih mengandalkan menghafal (rumus) daripada melatih berpikir sistematis, logis, dan deduktif (nalar). Pelajaran matematika yang sederhana dapat mengantarkan orang berpikir kritis. Di negeri ini orang yang berpikir sederhana, namun logis dan kritis masih kurang***.
Pelajaran bahasa ditekankan pada tradisi membaca dan menulis. Di tingkat sekolah menengah atas pelajar sudah dilatih dan diberi tugas menulis paper. Kurikulum menargetkan sejumlah karya sastra klasik dibaca oleh pelajar SLTA. Anak-anak Amerika tahu siapa Tom Sawyer dan Huck Finn dalam karya Mark Twain. Negara menyediakan perpustakaan public untuk tingkat country. Bila kotapraja di Jawa mengsyaratkan terdapat alun-alun, kantor bupati/walikota, dan masjid terletak di pusat kota, maka di Amerika Serikat syarat menjadi: ada balaikota, kantor polisi, gereja dan perpustakaan public milik Negara.
Paradigma Minangkabau
Minangkabau selalu menjadi salah satu focus utama kajian Indonesian Studies oleh peneliti asing, karena merupakan salah satu puncak-puncak kebudayaan daerah di Nusantara, seperti Jawa, Bali, dan sebagainya. Ada kelebihan kajian Minangkabau, misalnya, daripada Bali. Minangkabau tidak saja merupakan bentuk budaya (Navis, 1986: 1), tetapi juga bentuk pergolakan. Daerah ini menghasilkan culture studies, maka Minangkabau menghasilkan kajian beragam, diantaranya: history, social change, dan cultural studies. Salah satu yang perlu dikaji adalah mengali kembali paradigma apa yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau, sehingga pada suatu masa yang pendek menghasilkan sejumlah tokoh-tokoh nasional dan pada era lain, sesudahnya, tidak dapat melanjutkan mencetak kader-kader yang kualitasnya sama.
Saya melihat ada tiga potensi dasar yang besar yang pernah dimiliki orang Minang pada masa lalu yang merupakan paradigm dalam masyarakat, yakni agama, bahasa dan filsafat. Pendidikan yang berbasis ketiga karakter tersebut mampu mencuatkan tokoh-tokoh Minang di kancah nasional. Ketiga karakter tersebut sebagian besar telah tecerabut dari akar masyarakat Minang, baik karena hegemoni rezim pemerintah, pergolakan daerah,maupun karena perubahan masyarakat, sehingga terputus kontinuitas SDM yang handal.
Agama selalu menjadi inspirasi kuat bagi kebangkitan (dinamika) pergulatan internal dan eksternal orang Minang. Dimulai dari masuknya pengaruh ajaran Wahabi yang memunculkan gerakan dan Perang Paderi, persaingan thariqat Syathariyah dan Naqsyandiyah-Khalidiyah, Gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang digerakan oleh murid dan guru-guru Perguruan Sumatera Thawalib, gagalnya Ahmadiyah mendirikan basis di Padang Panjang mencari pengaruh sebelum masuknya Muhammadiyah, gagalnya Ordonansi Guru tahun 1928 dan Ordonansi Sekolah Liar tahun 1932, persaingan pengaruh Perti dan Muhammadiyah di tingkat nagari, dan sekarang perda syariah di tingkat kabupaten/kota.
Dahulu masyarakat Minang sangat menghargai ulama. Ulama dipandang sebagai kunci ke surge. Kaum dari berbagai nagari berebut manjapuik sang ulama kalau istrinya belum genap empat atau baru saja mendengar salah satu istrinya diceraikan. Bahkan menikahi janda sang ulama dapat dianggap tertutupnya pintu ke sorga. Ulama tidak perlu hidup dari pembiayaan sendiri karena sepenuhnya dari sokongan kaum dan nagari. Semua kebutuhan hidupnya dipenuhi. Penghargaan kepada ulama jauh melebihi penghargaan kepada guru besar (professor) dalam masyarakat. Dengan kondisi masyarakat yang demikian, banyak pemuda Minang mempersiapkan diri dan bercita-cita melanjutkan pendidikan ke Makkah dan Al Azhar di Kairo. Dan kualitas yang dihasilkan dari kuliah lesehan (halaqah) di serambi Masjidil Haram setara dengan mutu lulusan doctor dari PT Islam di tanah air. Syaikh Ahmad Khatib, Haji Rasul, Djamil Djambek, Abdullah Ahmad, Inyiak Canduang, Hamka, M. Natsir, AR. Sutan Mansur dan lainnya, lahir dari produk masyarakat dengan paradigma ini.
Paradigm ini telah menghilang dalam kehidupan masyarakat. Ulama dan calon ulama terpaksa mencari penghidupan sendiri untuk anak dan istri, maka yang muncul tokoh-tokoh ulama atau da’I dari kalangan akademisi, anggota DPRD, guru, birokrat, dan sebagainya. Integritas mereka sebagian terkadang diragukan karena terkotori oleh kasus dugaan korupsi, persaingan dalam merebut pengaruh dan posisi politik, jabatan akademik dan pangkat. Seiring dengan itu, tradisi dan komunitas pesantren telah hilang. Yang ada hanya orang-orang belajar di pesantren sebagai pendidikan alternatif, tanpa dukungan guru dan ulama yang disegani masyarakat sehingga anak-anak didik belajar tanpa motivasi yang kuat dan lulus tanpa kualitas yang dibanggakan. Degradasi itu berlangsung begitu cepat. Imam Zarkasyi, lulusan Normal Islam di Minangkabau tahun 1935, sukses mendirikan Pondok Pesantren Gontor Ponorogo (Junus, 1971: 67). Sekarang muncul kecendrungan sebagian putri-putri Minang tidak lagi belajar agama ke Diniyah Putri Padang Panjang tetapi ke Pondok Pesantren Gontor (Zusreni, 1996). Ini sisi ironis perubahan dalam pendidikan dan masyarakat.

Di bidang bahasa, terutama sastra, jurnalistik, bahasa lisan; potensi orang Minang terangkat ke tingkat nasional. Era Balai Pustaka tidak hanya mengangkat sastrawan asal Minang, seperi Marah Rusli, Abdul Moeis, Nur St. Iskandar, Tulis St. Sati, dan lainnya; tetapi juga menghasilkan karya dengan tema-tema adat Minang. Di bidang jurnalistik memunculkan Djamaluddin Malik (Adinegoro) sebagai Bapak Pers Nasional dan tokoh senior Rosihan Anwar. The Grand Oldman, Haji Agus Salim, dikenal dengan debat dan pidato ulungnya, suatu karakter yang hampir tidak dapat ditemui di kalangan elite dan diplomat sekarang. Hanya di ranah sastra kontinuitas generasi dapat berjalan, karena potensi itu masihn terasah.
Bung Hatta, Tan Malaka, M. Natsir, dan Hamka menjadi besar karena dari pendidikan dasar dan menengah telah dibekali atau mempelajari sendiri filsafat dan berbagai aliran pemikiran. Bung Hatta semasa studi di Belanda telah menghasilkan buku tentang filsafat Yunani Kuno. Tan Malaka dimitoskan lebih besar dari realitanya karena penyebaran ide-idenya melalui tulisan di jurnal partai (Kahin, 2005: 79). Natsir merupakan tokoh tangguh dan terdepan menghadapi Soekarno dalam polemic ideology Negara antara Islam dan Nasionalisme Sekuler sebelum kemerdekaan. Tanpa menggali filsafat lebih dalam tak mungkin Hamka menulis Tafsir Al Azhar dengan produktivitas yang mengagumkan****.
Di era reformasi yang seharusnya orang dapat berbicara lantang dan tanpa perasaan takut, anggota DPR dan DPD asal Minang tidak mampu angkat bicara di tingkat nasional, padahal mereka telah diantarkan oleh orang Minang ke kancah nasional, tanpa harus berjuang keras lebih dahulu seperti generasi terdahulu. Mereka tidak mampu mengemas masalah, mengembangkan isu, menyampaikan ide-ide dan solusi alternative melalui lisan (bicara atau debat) dan tulisan, menggalang kerjasama dengan tokoh-tokoh lain. Ini tidak lain karena SDM mereka lemah. Pendidikan kesarjanaan tanpa dibekali filsafat, pengetahuan sejarah, dan berbagai aliran pemikiran; tak mampu mengangkat mereka bergulat di kancah nasional padahal mereka telah didudukan di sana.
Dari Paradigma ke Muatan Lokal Pendidikan
Saya melihat tidak munculnya tokoh-tokoh Minang ke kancah nasional dengan kualitas generasi terdahulu, diantaranya sebagai produk dari system pendidikan nasional. Ketika orang Minang telah memilih (karir) menjadi dokter, insiyur teknih/pertanian, pengacara/konsultan hukum, perwira polisi/tentara, akademisi, dan bidang spesialisasi lainnya, maka kemunduran kualitas SDM di tingkat nasional meningkat. Pendidikan vokasional dengan sendirinya menjauhkan seseorang dari mengemari karya-karya sastra, berpikiran general atau memahami disiplin ilmu orang lain dan merasa cukup dengan keahlian yang dimiliki. Saya mengambil kesimpulan, terputus atau gagalnya pengkaderan tokoh-tokoh nasional asal Minang dari generasi terdahulu, diantaranya, pelajar-pelajar Minang telah meninggalkan mempelajari agama, bahasa dan filsafat.
Karena pemerintah telah memberi ruang terhadap muatan lokal dalam pendidikan nasional di daerah, maka saya member solusi alternative agar orang Minang dapat terangkat lagi harkatnya ke tingkat nasional, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Muatan local itu bukan berarti kandungan kebudayaan daerah atau keminangkabauan, melainkan materi universal dari tiga komponen yang telah saya sampaikan di atas.
Pertama, kurikulum MTs dan MA mengandung muatan umum 70% dan agama 30% (Sirozi, 2004), sebagai kebijakan menteri dalam era pemerintah Soeharto yang bertujuan mencabut akar Islam dalam masyarakat dikembalikan lagi ke muatan awal: 70% materi agama dan 30% materi umum. Karena ruh pesantren telah hilang dalam masyarakat maka satu-satunya jalan mempelajari agama melalui pendidikan formal, MTs dan MA. Lulusan MAN sekarang tidak mampu mengantarkan seseorang melanjutkan studi ke Makkah, Madinah atau ke Kairo. Salah satunya penguasaan bahasa Arab dan hafalan Al Qur’an yang minim. Pada program studi tertentu di UIN/IAIN, misalnya tafsir hadist, lulusan MAN mendapat kendala dalam kemajuan studi karena minim penguasaan bahasa Arab. Lulusan pesantren di Jawa, lebih siap dalam hal ini.
Kedua, pendidikan bahasa di tingkat sekolah dasar dan menengah dirombak, dengan muatan sastra yang lebih besar. Well educated masyarakat tidak ditentukan dengan indicator gelar kesarjanaan tetapi dari tradisi kegemaran membaca dan menulis. Pengajaran sastra dari kecil dan porsi yang lebih besar diyakini dapat menimbulkan minat membaca dan berpikir. Pelajar-pelajar SLTP dan SLTA diwajibkan dalam kurikulum sebelum lulus membaca puluha n karya sastra klasik sastarwan Minang, non Minang, maupun Barat yang telah diterjemahkan. Kontrol dapat dilakukan melalui penulisan review. Masing-masing kabupaten/kota di Sumatera Barat mendirikan perpustakaan daerah yang dikelola pemda. Di tingkat universitas perlu dibuka program studi baru seperti jurnalistik dan penulisan scenario drama/penulisan.
Ketiga, filsafat, minimal filsafat keilmuan telah diberikan pada tingkat dua universitas atau PT*****. Ini dapat mereduksi ego keilmuan, sehingga tidak terdengar lagi perkelahian antar mahasiswa berdasarkan fakultas atau jurusan. Perlunya membuka program studi atau fakultas Filsafat di Unand atau UNP di setiap jenjang keilmuan. Program studi filsafat di IAIN Imam Bonjol perlu didukung oleh pengajar yang andal, perpustakaan, dan kurikulum yang baru karena selama ini aktivitasnya kurang darah. Di tingkat Sumatera Barat saja, mereka belum melahirkan pemikir handal.
*Disampaikan dalam rangka peluncuran edisi kelima Jurnal Kebudayaan Gurindam Suaru Tua, Yogyakarta, 23 Juni 2007.
** Terlepas dari kontroversi, apakah falsafah ini hanya mengacu pada berpikir secara logis (rasional), namun tidak mengacu menyakini yang gaib.
*** Sekedar contoh, para sarjana dan lulusan SLTA masih banyak yang tertipu oleh pola penyimpanan uang dengan bunga yang tidak rasional yang ditawarkan oleh lembaga non bank. Apakah tidak pernah terpikirkan bagaimana lembaga tersebut memutar uang, sehingga salah satu pasti ada pihak yang dirugikan? Dengan (hitungan) matematika sederhana sekolah menengah, dapat diyakinkan kedok penipuan lembaga keuangan non-bank tersebut.
**** Di kancah nasional, diantaranya Gus tf, Rusli Marzuki saria (puisi), Darman Munir, Wisran Hadi (novel dan roman) dan Harris Effendi Thahar (cerpen).
***** Jangankan PT di Sumatera Barat di UGM mata kuliah filsafat yang terkait pogram studi menjadi barang mewah diajarkan pada tingkat S-1. Umumnya mata kuliah tersebut diajarkan pada tingkat S-2 dan wajib pada tingkat S-3. Dari cermatan saya, di Universitas Andalas, mata kuliah yang terkaiy dengan keilmuan pada tingkat S-1 (hampir ?) tidak ada karena tidak adanya keinginan dosen untuk mempelajari dan mengembangkan sendiri materi kuliah.
Rujukan
Junus, Mahmud . 1971. Sedjarah Islam di Minangkabau (Sumatera Barat). Al Hidayah: Djakarta.
Kahin, Audrey. 2005. Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926 – 1998. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Kammen, Michael. 1985. Bangsa yang Penuh Paradoks: Suatu Penulusuran mengenai Asal Muasal Peradaban Amerika. Terjemahan Mochtar Pabotinggi. Cetakan Kedua. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Navis, A.A. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Cetakan Kedua. Pustaka Grafiti Press: Jakarta.
Sirozi, Muhammad. 2004. Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesi: Peran Tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989. Terjemahan Lilian D. Tedjasudhana. INIS: Jakarta.
Zusreni, Isna. 1996. Faktor-Faktor yang Mendorong Puteri Minangkabau Masuk Pesantren: Studi Kasus Pesantern Puteri Pondok Modern Darussalam Gontor di Mantingan Ngawi. Skripsi S-1 Jurusan Antropologi UGM Yogyakarta.
Penulis
Ahmad Iqbal Baqi
· Lulusan Jurusan Matematika FMIPA UNPAD Bandung (1992)
· S-2 Kependudukan UGM (2000)
· Sedang menyelesaikan S-3 Kependudukan UGM
· Sekarang tercatat sebagai pengajar di Jurusan Matematika FMIPA UNAND Padang
· Lahir di Padang tahun 1967
· Asal kenagarian Maninjau, Kec. Tanjung Raya, Kabupaten Agam

1 komentar:

Romantic

14 Agustus 2008 pukul 09.01

Assalamu'alaikum,
Kebetulan saya seorang guru, pernah mengajar SMP dan sekarang mengajar di SMA.
Carut marut pendidikan di negara kita adalah hasil campur tangan pusat, kurikulum yang merupakan rel jalannya pendidikan diatur dari pusat tanpa memperhatikan kondisi di daerah. Kurikulum kita ini tumpang tindih, saya ambil contoh kurikulum Matematika di SD dan SMP itiu hampir sama. Materi di SD ketinggian.
Kualitas sumber daya manusianya juga kacau, banyak kepala dinas pendidikan tidak berasal dari orang pendidikan, banyak guru ngambil S2 hanya ingin gelarnya saja, tidak ada peningkatan kualitas.

www.matematikaitah.blogspot.com