Penghambat Kepada Pemikiran yang Jelas

Sebagaimana cacat lisan dapat menghalang seseorang untuk bicara dengan jelas, ada hambatan-hambatan pikiran yang tidak memungkinkan seseorang untuk berpikir secara jelas. Emosi, kepentingan pribadi, desakan-desakan dari luar dapat pikiran kita. Hambatan-hambatan terhadap pemikiran yang jernih sebagaimana tersebut di atas mungkin menyebabkan sains dan filsafat kita berpijak di atas dasar yang salah, dan semua itu dapat mempengaruhi dan mengubah kumpulan pendapat-pendapat paham orang awam kita.

Arca-arca Akal (Idols of the Mind)
Francis Bacon (1561-1626) telah member kita pernyataan yang klasik tentang kesalahan-kesalahan berpikir dalam “Idols of the Mind”.
Pertama, arca-arca (idols of the trible. Kita condong menerima bukti-bukti dan kejadian-kejadian yang menguntungkan pihak atau kelompok kita (suku atau bangsa). Kedua, arca-arca gua (idols of the cave). Kita cendrung memandang diri kita sebagai pusat dunia dan menekankan pendapat kita yang terbatas. Ketiga, arca-arca pasar (idols of the market) yang menjadikan kita terpengaruh oleh kata-kata atau nama-nama yang kita kenal dalam percakapan kita sehari-hari. Kita disesatkan oleh kata-kata yang diucapkan secara emosional. Sebagai contoh, dalam masyarakat (Amerika) kata-kata komunis dan radikal. Dan akhirnya arca panggung (idols of the theatre) yang timbul karena sikap kita yang berpegang kepada partai, kepercayaan atau keyakinan. Tingkah laku, cara-cara dan aliran-aliran pikiran adalah seperti panggung, dalam arti bahwa mereka membawa kita kepada dunia khayal. Akhirnya arca panggung membawa kita kepada kesimpulan yang salah dasar. Hambatan-hambatan kepada pemikiran yang jernih dapat disajikan dengan istilah-istilah yang lain, yakni tidak dengan istilah klasik tersebut. Kita dapat memakai kata-kata purbasangka (prejudice) kerawanan terhadap propaganda (susceptibility to propaganda) dan sumonngo-dawuhisme, abs-isme, patuh mutlak tanpa reserve keapda seseorang atau suatu badan atau otoriterianisme (authoritarianism).

Purbasangka
Purbasangka selalu menganggu pemikiran yang jernih. Akal manusia biasanya meras sukar untuk menunda pertimbangan (judgment) sampai semua bukti sudah tersedia. Walaupun bukti-bukti sudah terkumpul, purbasangka mempersukar menarik kesimpulan yang tepat. Purbasangka adalah suatu pertimbangan yang terburu-buru, suatu dasar pemikiran yang salah yang mendorong kita menganggap sepi atau memperkecil bukti atau menilai bagian-bagian lain dari bukti tersebut secara berlebihan. Purbasangka biasanya timbul atas dasar emosional dan cenrung untuk sejalan dengan kenikmatan, kebanggaan dan kepentingan kita. Jika kita dihadapkan dengan purbasangka kita, kita selalu mengambil sikap membenarkannya, yakni kita mecari sebab atau argumentasi untuk percaya apa yang kita ingin percayai.

Propaganda
Hambatan lain untuk pikiran jernih fakta bahwa kita sangat mudah terpengaruh oleh proganda. Wlaupun kita ingin menghadapi fakta dan berpikir secara jelas, pikiran kita dapat tersesat karena informasi kita telah diwarnai dan dimanipulasi oleh sumber-sumbernya. Propagandis dari keompok-kelompok berkepentingan memakai radio, televise, surat kabar dan gambar hidup untuk mengontrol jalan pikiran kit. Mula-mula propagandis atau juru penerang berusaha untuk membangkitkan dalam diri kita suatu emosi atau keinginan dan kemudian, dengan melalui sugesti, menyajikan kemungkinan-kemungkinan bertindak yang Nampak sebagai jalan yang memuaskan untuk mengekspresikan emosi atau keinginan tersebut. Akan tetapi sesungguhnya tak ada hubungan antara emosi yang dibangkitkan seperti rasa cinta kepad istria dan tindakan yang diusulkan seperti membeli benda-benda, dari bunga sampai piano.

Otoriterianisme
Mengikuti kekuasaan secara buta atau tanpa kritik adalah suatu cara untuk memperoleh pengetahuan tetapi sifatnya tidak filosofis atau tidak ilmiah. Hal ini benar, apakah kekuasaan itu ada atau tradisi, keluarga atau gereja,Negara atau alat-alat media massa. Tunduk kepada kekuasaan secara tidak kritis dinamakan otoriterianisme.

Otoriterianisme berbeda dari sekedar tunduk kepada suatu kekuasaan dalam sesuatu hal. Otoriterianisme berarti keyakinan bahwa pengetahuan itu dijamin atau disahkan oleh otoritas. Jika seseorang menerima otoritas secara tidak kritis, ia menghentikan usaha-usahanya yang bebas untuk mencari yang benar atau yang salah. Tanpa memandang bentuknya, kesaksian yang diterima karena kepercayaan yang membabi-buta tanpa memperhatikan apakah kesaksian itu sesuia dengan pengalaman atau akal adalah berbahaya.

Kelemahan dan bahaya otoriterianisme itu banyak. Sebagai suatu sikap yang menonjol, sikap yang tidak menggunakan sarana untuk mengetahui betul tidaknya sesuatu kecuali karena ia datang dari yang berkuasa, otoriterianisme condong untuk menghambat kemajuan dan mengesampingkan pemikiran dan penyelidikan yang lebih jauh. Kita hidup dalam zaman di mana masyarakat itu berubah dengan cepat dan oleh karena itu kepercayaan dan praktek-praktek pada suatu waktu tidak sesuai dengan waktu berikutnya. Kedua, jika para penguasa berselisih atau konfli, dan hal ini biasa terjadi, kita jadi binggung kecuali jika kita mempunyai sumber lain untuk pegangan. Ketiga, kita dapat tersesat oleh karena prestise penguasa kita, dan kita tak memahami hal ini jikasi penguasa itu bicara mengenai bidang-bidnag pengetahuannya. Seseorang yang sangat mahir dalam suatu bidang akan dipercaya jika ia berbicara tentang hal-hal yang tidak ia mempunyai keahlian mengenainya. Keempat, kita mungkin tersesat jika suatu keyakinan telah lama dan meluas. Sikap menerima yang telah meluas itu akan menambah prestise dan daya tariknya serta mempersulit kita untuk membuka kesalahan-kesalahan lama. Ada baiknya untuk menginggat bahwa banyak dari kepercayaan-kepercayaan itu salah, bahkan sesungguhnya telah banyak yang sudah dibuktikan kesalahannya.

Sebagai contoh otoriterianisme klasik kita sebutkan pemikir-pemikir filsafat skolastik pada abad pertengahan yang tidak berani menyimpang dari ajaran gereja dan tulisan-tulisan Aristoteles. Contoh lain, tetapi modern juga ada. Barangkali garis partai komunis dapat kita rasakan langsung.

Banyak orang yang percaya kepada otoritas oleh karena mereka tidak percaya kepada diri sendiri atau secara intelektual bersifat malas. Untuk menerima kata-kata orang lain merupakan jalan yang mudah untuk mendapat kenikmatan dan jaminan. Pada umumnya orang itu bersifat peniru, suka percaya dan mudah diberi sugesti. Mendengar, membaca, sama dengan percaya, oleh karena itu mereka menerima ide: masuklah ke kendaraan jama’ah, ikutilah garis partai. Untuk mengikuti orang banyak dan pendapat umum merupakan perlindunganbagi orang yang binggung dan berpikiran yang lelah. Kecendrungan konformis semacam itu merukan tanah yang subur bagi iklan dan propaganda yang lihai.

Kesalahan semantik, kesalahan formal dan kesalahan empiris
Tekanan pendapat umum, purbasangka, propaganda serta tunduk secara buta terhadap otoritas bukan merupakan semua hambatan berpikir. Kita semua memiliki dorongan dan adat. Adat adalah sangat baik untuk memilihara kegiatan hidup yang rutin, tetapi ia tidak membantu malah kadang-kadang banyak menyulitkan jika kita menghadapi situasi baru yang belum terkenal.

Terdapat juga banyak kesalahan berpikir atau pelanggaran terhadap prinsip-prinsip logika dan konsistensi. Kesalahan-kesalahan tersebut dapat dibagi dalam tiga kelompok. Kesalahan semantic disebabkan oleh pemakaian kata-kata secara tidak teliti atau tidak tepat. Kata-kata mungkin berganti arti selama kita mengadakan diskusi. Sebagai contoh: jika kata hukum (law) dalam pembicaraan tentang hokum alam (natural law), secara tidak terasa diganti dengan hokum Negara atau hokum moral dalam arti kaidah tingkah laku, kita telah mengganti arti kata tersebut.

Kesalahan format terjadi kita mengambil kesimpulan yang salah dari dasar pikiran (premise) kita. Mungkinj kita membicarakan tentang semua anggota kelompok, sedangkan dasar pikiran kita hanya membicarakan tentang sebagian dari anggota kelompok. Kesalahan empiris terjadi karena kita melakukan generalisasi secara tergopoh-gopoh. Karena sesuatu kejadian terjadi sesudah kejadian lain, mungkin kita condong untuk mengatakan bahwa kejadian pertama adalah sebab dari kejadian kedua.

Untuk menjauhi generalisasi yang tergopoh-gopoh, kita perlu mengetahui corak premise yang daripadanya kita dapat menarik kesimpulan yang benar, dan juga kondisi-kondisi di mana kita dapat mengadakan generalisasi dari pengetahuan tentang hal-hal yang khusus (particular). Deduksi dan induksi adalah proses pemikiran yang kita perlukan untuk mengetahuinya supaya kita dapat menjauhkan diri dari hambatan yang serius dalam pemikiran kita. Deduksi dan induksi adalah dua istilah untuk melukiskan metoda yang kita pakai untuk bergerak dari bukti kepada kesimpulan yang didasarkan kepadanya. Deduksi adalah proses yang kita pakai untuk menarik suatu suatu kesimpulan dari satu dasar pikiran (premise) atau lebih. Jika cara penarikan kesimpulan itu benar, dan kesimpulannya betul-betul muncul, maka deduksi itu benar. Sebagai contoh: jika kita berkata: “semua orang itu mati (mortal)”, dan “Socrates adalah manusia”, maka kesimpulan yang kita ambil adalah “Socrates akan mati (mortal)”. Di sini semua dasar pikiran (premise) adalah bukti yang relevan untuk kebenaran kesimpulan.
Di lain pihak, induksi adalah empiris, karena hubungan dengan benda. Ia berusaha untuk mengambil kesimpulan mengenai semua anggota kelas setelah menyelidiki sebagian saja atau mengenai anggota kelas yang tidak diselidiki. Tujuannya adalah untuk menyelidiki sebagian saja atau mengenai anggota kelas yang tidak diselidiki. Maksudnya adalah untuk membentuk suatu pernyataan yang benar. Sebagai contoh, setelah menyelidiki beberapa burung gagak atau bilangan lebih banyak lagi, dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa burung gagak yang kita lihat berwarna hitam? Bentuk-bentuk deduksi dan induksi adalah terlalu banyak untuk disebutkan di sini, tetapi pembaca yang belum biasa dengan cara-cara berpikir ini serta bentuk-bentuk yang akan diambilkan, begitu juga kesalahan-kesalahan yang dapay menyesatkan pemikiran, dianjurkan untuk membaca buku logika yang baik.

Kesalahan “Ad Hominem”
Satu dari hambatan yang sangat sering terjadi terhadap pemikiran yang jelas adalah kesalahan “ad hominem” (kepada manusia). Pemikiran yang salah beralih dari suatu issue kepada orang. Kita dapatkan hal ini dalam berita-berita, tajuk rencana, pidato-pidato politik, perdebatan agama bahkan dalam pecakapan biasa antara seorang dengan seorang lain. “Saya tahu bahwa Tuhan itu tidak ada, karena semua orang percaya kepada Tuhan karena sebab-sebab psikologis”. Perhatikanlah apa yang telah terjadi. Yang menjadi issue adalah wujud Tuhan. Tetapi cara berpikir dari penyelidikan issue tersebut telah beralih kepada perhatian terhadap motivasi manusia untuk percaya. Motivasi manusia telah membuktikan atau meniadakan wujud Tuhan. Walaupun umpamanya dapat dibuktikan bahwa semua orang yang beragama itu mempunyai pikiran yang tidak sehat, issue terpisah, yakni issue tentang adanya Tuhan, telah dianggap sepi. Sesungguhnya, motivasi manusia tidak mengisbatkan (menetapkan) atau menafikan sesuatu issue; motivasi tersebut hanya menyajikan sebab-sebab yang mugkin untuk persetujuan atau penolakan orang terhadap sesuatu ide.

“Musuh saya adalah pembohong. Ia tak dapat dipercaya”. Menyerang budi pekerti seseorang adalh suatu metoda ad hominem yang lain. Pembicara tidak bersandar kepada bukti untuk membuktikan atau membatalkan isu; sebagai gantinya, ia mengandalkan: mengundang nama (name calling). Ia menyerang pribadi musuhnya.

“Jones percaya kepada manfaat penjemputan anak dengan bis. Apakah yang ia ketahui tentang hal itu. Ia tidak punya anak.”
“Jangan percaya akan apa yang ia katakana; ia itu berbeda”. Suatu metoda ad hominem menjauhi usaha pikiran untuk memeriksa isu. Ia gagal untuk memperkuat atau menolak suatu pernyataan; ia menggunankan serangan pribadi sebagai ganti bukti yang relevan.

Oleh: Harold H Titus (Denilson University), Marilyn S. Smith (University of Hartford) dan Richard T. Nolan (Mattutuck Community College).

0 komentar: