KOMITMEN MASYARAKAT MINANGKABAU DALAM MENJAGA KEUTUHAN NKRI

Pada kesempatan dalam acara “Halal bi Halal Masyarakat Minangkabau Yogyakarta”, di gedung Graha Sabha Pramana UGM pada tanggal 23 November 2006 yang lalu, Prof. Dr. Syafi’I Ma’arif, seorang intelektual Minang dalam ceramah “Hikmah Syawalan” menyampaikan suatu pernyataan terkait sikap orang Minang terhadap keutuhan NKRI. “Seandainya seluruh daerah yang ada saat ini, satu per satu memisahkan diri dari NKRI, maka Minangkabau (Sumatera Barat) adalah daerah yang terakhir kali yang akan memisahkan diri”.

Dalam pemaparannya Buya Syafi’i tidak merinci secara jelas mengapa beliau mengutarakan tesis tersebut. Penulis mencoba untuk mencari informasi terkait dengan hal ini. Jawaban yang penulis temukan berangkat dari perspektif historis. Paling tidak ada 3 sejarah yang membuktikan hal ini:
a.Pendiri NKRI banyak berasal dari Minangkabau
Siapa tidak kenal Muhammad Yamin dan Muhammad Hatta? Beliau berdua adalah putra Minangkabau yang berjuang untuk kemerdekaan RI. Bukan hanya berjuang secara politik, beliau berdua berperan memformat Negara Indonesia.
Muhammad Yamin adalah tokoh yang tergabung dalam Tim Sembilan BPUPKI yang bertugas merumuskan dasar Negara Indonesia merdeka. Beliau pulalah yang mengajukan konsep dasar Pancasila sebagai dasar Negara.
Sebuah kisah yang membuktikan bagaimana komitmen Bung Hatta dalam persatuan NKRI, dapat kita lihat dalam penetapan Piagam Jakarta sebagai dasar NKRI. Sore 17 Agustus 1945, Hatta diberitahu oleh salah seorang perwira Jepang, bahwa ada laporan “pemimpin di Indonesia Timur enggan untuk bergabung NKRI, jika redaksi Piagam Jakarta masih seperti semula”. Akhirnya Hatta berembuk dengan tokoh Nasional lainnya dan diputuskan kata-kata “…dengan kewajiban kewajiban menjalankan syari’at…”, dihapuskan keesokkan harinya dalam rapat PPKI. Hal ini membuktikan komitmen Hatta dalam menjaga keutuhan kesatuan bangsa Indonesia. Dengan kematangannya, beliau menjelaskan secara jernih kepada tokoh-tokoh Islam yang menginginkan dasar Negara tetap berdasarkan piagam Jakarta tanpa dirubah sedikitpun, supaya “legowo” menerima hal ini demi persatuan dan kesatuan Indonesia.
b.Penyelemat Kemerdekaan Indonesia melalui PDRI
Perjuangan kemerdekaan nasional dalam saat krisis antara bulan desember 1948 sampai juli 1949 di saat tertawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, serta hamper seluruh anggota cabinet, tetap berlanjut di bawah pemerintahan darurat Republik Indonesia yang dipimpin oleh Syafroeddin Prawira Negara di Sumatera (Bukittinggi). Perjuangan tersebut telah menyelamatkan Republik Indonesia, baik di tingkat Nasional maupun internasional (Buku “Dua Sejoli”, terbitan Yayasan Mataram Minang Lintas Budaya Yogyakarta tahun 2003, hal 228).
c.Sumbangsih Kepada Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu yang menjadi sarana komunikasi bagi seluruh suku bangsa yang berbeda-beda bahasanya yang ada di tanah air. Prof. Bahder Johan menyatakan, “Minangkabau berpuluh tahun lamanya memberi inspirasi ke dalam perkembangan bahasa Melayu/Indonesia. Kalau kita tinjau sejak awal perkembangan bahasa, bagaimana tumbuhnya bahasa Minang dan kedudukannya di samping bahasa Melayu, akan mengertilah pula kita betapa besarnya bahagian Minangkabau dalam perkembangan bahasa Indonesia modern (Hamka, “Islam dan Adat Minangkabau”, Panjimas; Jakarta hal 123). Sumbangsih Minangkabau bukan hanya dari segi bahasanya saja, tetapi sastra Indonesia telah diwarnai oleh pujangga-pujangga besar dari Minang.
Demikianlah secara singkat menurut penulis, sejarah yang menanamkan semangat masyarakat Minangkabau untuk tetap menjunjung tinggi dan menjaga keutuhan NKRI.

Seorang pakar sejarah dari Universitas Andalas Padang menyampaikan kisah yang menarik terkait dengan komitmen ini. “Pada saat gelombang reformasi 1997-1998, kondisi Indonesia diperparah oleh keinginan beberapa tokoh daerah yang ingin melepaskan diri dari NKRI (separatism). Hal ini juga terjadi di Sumatera. Ada Aceh Merdeka, Riau Merdeka, dan lain sebagainya. Dalam sebuah pertemuan aktivis Minang di sebuah kota di Sumatera Barat, mencuat wacana “Minang Merdeka”. Dengan emosi meledak sang dosen ini, yang ikut diundang dalam pertemuan itu, angkat suara, “Engku-engku ini latah. Tidak tahu sejarah. Orang berkata merdeka, engku teriakan juga merdeka. Apakah engku-engku tidak tahu siapa yang mendirikan Negara ini?” Terdiamlah semua yang hadir saat itu.
Perjalanan sejarah menjadi bukti akan komitmen Minangkabau kepada NKRI. Mungkin pembaca sekalian akan mematahkan argument ini dengan mengemukakan fakta sejarah lainnya, bahwa di Sumatra Barat pernah terjadi pemberontakan PRRI. Berdasarkan pengetahuan penulis , PRRI tidaklah bertujuan untuk memisahkan diri dari NKRI namun sebuah bentuk “meminta perhatian” dari Pemerintah Pusat di Jawa untuk menengok kehidupan dan penderitaan yang terjadi di luar Jawa. Bagaimana kesenjangan kesejahteraan dan perlakuan kebijakan tidak mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Pusat.
Namun, apa yang terjadi, Pemerintah Pusat mengirimkan tentara ke Sumatra Barat dan melakukan pembunuhan terhadap masyarakat sipil. Sebuah cerita yang disampaikan oleh seorang guru di Batusangkar yang pada saat itu masih SMA, menggambarkan kegananasan tentaraterhadap orang-orang PRRI, “suatu ketika pejuang PRRI ditangkap, kemudian dijejer di tepi jurang Ngarai Sianok (Bukittinggi). Mereka ditembaki. Dalam keadaan sekarat, mereka ditendang kejurang. Bukan hanya itu saja, siswa-siswa SMA dipaksa menonton kekejaman ini”. Tragedy ini, masih menysakan luka mendalam bagi masyarakat Minangkabau. Mungkin pergantian generasi saja yang bisa menghapus jejak-jejak kepedihan ini.
Sebenrnya kalau kita pelajari secara seksama budaya Minangkabau secaara utuh, maka kita akan temui bagaimana demokratisnya orang Minang dalam menghadapi perbedaan pendapat. Cerita ringan yang menggambarkan hal ini, pernah suatu kali orang Minang ditanya, kenapa dalam bersilat, didahului oleh berbalas pantun dulu ?. ini adalah symbol budaya yang menggambarkan orang Minang lebih mendahulukan diplomasi dibandingkan pendekatan militer dan kekerasan fisik. Ketidakmampuan pemerintah Soekarno dalam membaca PRRI, telah membuat kecelakaan sejarah yang perih bagi Minangkabau.
Penamaan Minangkabau akan memperjelas tentang berakarnya budaya diplomasi, dan musyawarah masyarakat Minang. A.A Nafis dalam satu bukunya menuliskan kisah klasik ini.
“ pada suatu masa datanglah bala tentara yang dipimpin anggang dari laut yang hendak menaklukkkan mereka. Melihat kekuatan pasukan, mufakatlah Datuk yang berdua (Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih nan Sabatang ) beserta Cati BilangPandai untuk mencari akal bagaimana menangkis serangan musuh.
Akhirnya didapat kata sepakat kata sepakat bahwa untuk melawan pasukan yang kuat itu haruslah dengan strategi. Strategi yang dipilih ialah mengadu kerbau. Kerbau siapa yang menang itulah yang memenangkan pertempuran. Usul diterima oleh panglima pasukan yang dating itu.
Pihak musuh mendatangkan kerbau yang sangat besar. Jarak kedua ujung tanduknya empat depa. Untuk menandinginya tidak ada kerbau yang sepadan. Lalu dirundingkan lagi. Cati Bilang Pandai mengajukan saran agar kerbau besar itu dilawan dengan anak kerbau yang lagi syarat menyusui. Sebelum dilepas kegelanggang, anak kerbau itu beberapa hari tidak dibiarkan menyusu pada induknya. [ada hidungnya diikatkan sepotong besi yang runcing. Besi itu disebut minang.
Demikianlah, pada hari yang ditetapkan pihak musuh melepaskan kerbaunya yang besar ke gelanggang. Kemudian pihak yang menanti melepaskan anak kerbau yang kecil itu. Ketika melihat seekor kerbau yang besar di gelanggang, anak kerbau itu menyangka induknya . berlarilah anak kerbau itu dan menyeruduk ke perut kerbau besar itu. Ia lari kesakitan, sejak kemenangan itu, tempat gelanggang itu menjadi kampong yamng dinamakan Minangkabau”.
Apa pelajaran yang dapat dipetik dari cerita ini. Sesungguhnya orang Minangkabau akan mendahulukan akalnya dari kekuatan fisiknya. Berhubungan dengan ini pendekar hebat di Minangkabau bukanlah hanya jawara di gelanggang, akan tetapi “Pandeka” (Pendekar) adalah orang yang “panjang aka” (cerdik-pandai).
Salah satu sikap budaya yang dimiliki masyarakat Minangkabau adalah merantau. Konsep merantau orang Minang dijiwai oleh semangat “dima bumi dipijak, di sini langik dijunjuang” (dimana bumi diinjak, di situ langit dijunjung). Artinya, dimanapun daerah tujuan merantau, maka orang Minang akan menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Bukan berarti meninggalkan identitas, namun toleransi dan memahami budaya orang lain didahulukan oleh orang Minang.
Sebagai penutup makalah ini, penulis kutipkan pernyataan Bike Parekh seorang proponen Multikulturalisme, “budaya yang berbeda mempresentasikan system makna dan visi tentang kehidupan yang baik yang juga berlainan. Karena masing-masing menyadari kapasitasnya dan emosi manusia dan hanya mampu menangkap sebagian saja dari totalitas eksistensi manusia. Ia membutuhkan budaya-budaya lain membantunya memahami dirinya secara lebih baik, mengembangkan cakrawala intelektualnya, merentangkan imajinasi dan menyelamatkannya dari narcisme untuk menjaganya dari godaan mengabsolutkan diri (Budiman, Hikmat (Ed). 2005. “Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia”. Yayasan TIFA; Jakarta. Hal 3-4).

0 komentar: