Kilas Sejarah Gebu Minang

Kenapa perlu sesegera mungkin mewujudkan Gebu Minang didorong oleh kesadaran atas masa depan yang merisaukan. Sumatera Barat memerlukan antisipasi atau terobosan yang jitu ke masa depan yang suram, terutama untuk menyiapkan generasi anak cucu untuk melayani dan mengatasi problematic-problematik masa depan. Dilihat begitu, maka Gebu Minang merupakan suatu terobosan.

Haruslah diakui bahwa Gebu Minang jelas suatu percobaan atau upaya mencari konsep alternative pembangunan Indonesia dari bawah, yang tumbuh dan digerakkan masyarakat. Tapi ia pun sesuatu yang baru bagi orang Minang. Gebu Minang adalah suatu mobilisasi atau ajakan pengumpulan dana dari orang di kampong dan orang di rantau untuk kegiatan ekonomis yang dikelola secara modern. Pertumbuhan BPR di seluruh Sumatera Barat diharapkan nantinya akan memancing tumbuhnya kegiatan dan tenaga bisnis yang relative professional dan pada gilirannya memancing dinamika perekonomian dan social dalam arti luas.

Kini Gebu Minang bersifat aktif dan berpusat di Jakarta, dikelola oleh Yayasan Gebu Minang dan digerakkan oleh Lembaga Gebu Minang. Konsep-konsep kerja di atas kertas selesai dibuat dengan berbagai modifikasi sehingga cocok dengan keunikan orang Minang. Gebu Minang misalnya, adalah wadah kerjasama para perantau dan saudara-saudaranya di kampong halaman sehingga yang satu tak merasa terhimpit oleh yang lain. Orang Minang yang merdeka amat sensitive terhadap hal-hal semacam itu.

Maka masalah utama Gebu Minang adalah masalah lain justur terdapat di dalam tubuh para pendukung gerakan Gebu Minang ini. Memang mereka sama-sama orang Minang, namun sebagai perantau setidaknya mereka memiliki perbedaan dalam keterikatan atau kecintaannya terhadap Minang.

Pertama, orang Minang kota karena lahir di kota. Minang bagi mereka cendrung hanya satu, yaitu suatu lingkungan masyarakat etnis yang luas dan pendukung kebudayaan Minangkabau.

Kedua, orang Minang tradisional, perantau yang hanya memikirkan kampungnya sendiri. Yang berpikir kenapa memikirkan kampung yang lain? Kampong saya sendiri kan susah. berGebu Minang bagi mereka merupakan bagian dari cara mengangkat kampungnya sendiri dengan “mengalahkan” kampong-kampung lainnya.

Ketiga, Minang kota sekaligus tradisional. Biasanya yang lahir di kampong, besar di rantau (kota). Mereka memiliki sikap orang Minang kota, tapi juga memiliki rasa hidup orang Minang tradisional di kampong-kampung, yang dulunya satu sama lain tak jarang berkelahi atau berperang. Bagi mereka, solidaritas Minang ya, tapi solidaritas kampong tak bisa ditinggalkan.

Namun, masalah-masalah umum yang dihadapi masyarakat dan daerah di masa depan, tantangan-tantangan yang makin sulit mudah-mudahan akan lebih menyatukan mereka.

Cita-cita umum orang Minang adalah ingin menhadi orang berpangkat, kaya dan ternama. Kalau tidak ia sendiri, kaum keluarganya, atau tokoh-tokoh urang awaknya. Banyak orang Minang yang berhasil mencapai pangkat tinggi atau menjadi kaya-raya. Namun, yang memiliki nama besar dan tuah, kian sedikit.

Pengalaman-pengalaman saya mengurus koperasi di Maninjau meyakinkan saya, bahwa kalau pengelolaan Lembaga Gebu Minang dengan BPR_BPRnya berjalan secara terbuka, bersih dan efisien maka akan sukses. Moga-moga saja demikian sebab pengalaman LPN-LPN yang ada bisa dijadikan pelajaran.

Kalau Gebu Minang tidaklah sukses secara manajerial dan ekonomis barangkali bisa untuk mendatangkan tuah urang awak secara keseluruhan. Sebab ada yang konon sudah puas sebab urang awak merupakan pelopor yang melaksanakan pembangunan dari bawah secara murni! Urang awak memang terkenal aktif dalam berbagai aktivitas dan gerakan kepeloporan akan tetapi biasanya juga gagal dalam memilihara dan mengembangkannya. Dan paling celakanya, mereka tak pandai berorganisasi.

Sumber:

(Abrar Yusra. Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah). Penerbit Gramedia. Jakarta. 1994.)

0 komentar: